Tuesday 16 August 2016

Contoh Proposal Survei Cepat DBD



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh empat serotipe virus dari genus Flavivirus, virus RNA dari keluarga Flaviviridae. DBD bukan penyakit baru di Indonesia, kasus pertama DBD sudah ditemukan puluhan tahun silam.Virus dengue penyebab DBD memerlukan bantuan bantuan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus untuk berpindah ke tubuh manusia.
Penyakit DBD hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang harus sangat diprioritaskan dan dicari jalan untuk pemecahan masalahnya. DBD merupakan salah satu penyakit menular yang berbasis lingkungan, yang artinya kejadian dan penularannya sangat dipengaruhi oleh berbagi faktor lingkungan. Jika faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain lingkungan bologi, fisik dan sosisal budaya. Lingkungan biologi seperti virus dengue sebagai penyebab penyakit, nyamuk aedes sebagai penular disebut sebagai vektor DBD, manusia sebagai penjamu atau hospes yang menderita sakit dengue atau DBD.
Negara dengan kondisi iklim tropis hingga sub tropis berada dalam keadaan terancam inveksi virus dengue, perkembangannya sangat pesat dan seringkali menimbulkan KLB. Untuk Kecamatan Ngemplak secara geografis merupakan salah satu dari 19 Kecamatan di Kabupaten Boyolali,  terletak antara 110,22 -110,50 Bujur Timur dan 7,36 -7,71 Lintang Selatan dengan ketinggian antara 75-400  meter diatas permukaan laut. Kecamatan Ngemplak terdiri dari 12 desa yang hampir keseluruhan merupakan wilayah endemis DBD.
Menurut data tahun 2015 penyakit DBD telah terjadi di seluruh Desa di Kecamatan Ngemplak, dengan kasus tertinggi berada di Desa Sobokerto 133,6 % dan tingkat kematian tertinggi juga berada di Desa Sobokerto 133,6 %. Tahun 2016 hingga bulan april telah dilakukan hingga 13 kali kegiatan fogging dibeberapa desa. Akan tetapi kejadian kasus tidak berkurang, bahkan semakin meningkat angka penderita pasca dilakukan tindakan penanggulangan fogging.
Tingginya angka kejadian kasus dan kematian akibat DBD, perlu adanya penanggulangan penyakit serta pencegahan sebelum terjadinya penyakit secara tepat untuk dilakukan secara menyeluruh hingga keakar masalah sehingga angka kejadian kasus dapat diturunkan. Oleh karena itu maka harus dilakukan peninjauan ulang mengenai tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mengetahui efektifitasnya sehingga dapat diketahui program apa yang paling tepat untuk diterapkan.

B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas kegiatan PSN untuk pengendalian penyakit DBD di wilayah Kecamatan Ngemplak.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui apakah ada penderita baru setelah dilakukan kegiatan PSN di wilayah Kecamatan Ngemplak.
b.      Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan PSN di wilayah Kecamatan Ngemplak.
c.       Mengetahui kelengkapan kegiatan PSN yang dilakukan setiap desa di wilayah Kecamatan Ngemplak.
d.      Mengetahui konsistensi kegiatan PSN di wilayah Kecamatan Ngemplak.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Penyakit ini ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang mempunyai kebiasaan menggit mangsanya pada saat siang hari. Masa inkubasi virus ini adalah 2-10 hari di dalam tubuh vektor dan akan muncul dikelenjar liur nyamuk dan siap menginfeksi manusia yang tergigit (Soegijanto, 2004).
Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat serotipe tersebut yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN 3. Virus Dengue berukuran 35-45 nm, Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk. Nyamuk betina menyimpan virus tersebut pada tubuhnya. Nyamuk jantan akan menyimpan virus pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual. Selanjutnya, nyamuk betina akan menularkan virus ke manusia melalui gigitan (Satari dan Meiliasai, 2004).

B.     Gejala DBD
WHO dalam (Soegijanto, 2004) diagnosis yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi dioagnosis secara berlebihan, antara lain:
a.       Kriteria klinis
1)   Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung selama 2-7 hari.
2)   Terdapat manifestasi perdarahan.
3)   Pembesaran hati.
4)   Syok, yang ditandai dengan nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
b.      Kriteria laboratoris
1)   Trombositopeni (100.000/mm3 atau kurang).
2)   Hemakonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih menurut standar umum dan jenis kelamin.


C.    Derajat DBD
Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis dapat dibagi atas WHO dalam (Siregar, 2004) adalah sebagai berikut:
a.       Derajat I (ringan)
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi pendarahan.
b.      Derajat II (sedang)
Penderita dengan gejala yang sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan lain.
c.       Derajat III (berat)
Penderita dengan gejala kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (>20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
d.      Derajat IV (berat)
Penderita syok berat dengan tensi tak dapat diukur dan nadi yang tak dapat diraba.

D.    Patogenesis
Menurut (Soegijanto, 2004) patogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversi. Dua teori umum yang dipakai dalam menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD. Yang pertama adalah hipotesis infeksi, yaitu hipotesis yang menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan dengue serotipe yang heterolog (serotipe yang berbeda), mempunyai resiko lebih besar untuk kemungkinan mendapatkan DBD. Antibodi heterolog yang telah ada dalam tubuh sebelumnya akan mengenali virus lain yang menginfeksi kemudian membentuk kompleks antigen antibodi. Yang kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti halnya semua virus binatang yang lain secara genetik dapat merubah sebagai akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus tersebut melakukan replikasi pada tubuh manusia maupun tubuh nyamuk. Di samping itu, terdapat beberapa tingkatan virus yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang lebih besar.




E.     Penatalaksanaan
Pasien demam dengue dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam, pasien sebaiknya dianjurkan perawatan menurut (Hadinegoro dan Satari, 2004) adalah sebagai berikut:
a.       Tirah baring selama masih demam.
b.      Obat kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suh menjadi < 390C dianjurkan pemberian parasetamol.
c.       Pada pasien dewasa diperlukan obat yang ringan kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan nyeri otot.
d.      Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
e.       Monitor suhu badan dan jumlah trombosit serta kadar hematokrit (kadar trombosit dalam darah) sampai normal kembali.
Pasien DBD saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue pada fase demam. Perbedaan sangat jelas pada saat suhu turun, yaitu pada demam dengue akan terjadi penyembuhan, sedangkan pada demam berdarah dengue terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).

F.     Morfologi Dan Lingkaran Hidup Vektor DBD
a.       Morfologi
1)      Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
2)      Kepompong
Kepompong (pupa) berbentuk seperti ”koma”. Bentuknya lebih besar namun ramping dibanding larvanya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
3)      Jentik (larva)
Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
·      Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
·      Instar II : 2,5-3,8 mm
·      Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
·      Instar IV : berukuran paling besar 5mm
4)      Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran ±0,08 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampung air.
b.      Lingkaran hidup nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur menjadi jentik kemudian kepompong dan fase yang terakir adalah nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam dalam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai umur rata-rata antara 2-3 bulan (WHO dalam Soegijanto, 2004).

G.    Pemberantasan Vektor DBD
a.       Pemberantasan nyamuk dewasa
Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan dengan insektisida. Mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk menular malaria.
Alat yang digunakan adalah mesin fog (pengasapan) dan penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu. Untuk membasmi penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus dengan inetrval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segara muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien yang positif terinfaksi DBD) yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan yang pertama agar nymuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Tindakan penyemprotan dapat membasmi penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah-rendahnya.
b.      Pemberantasan jentik
Menurut (Depkes RI, 2005) dalam memberantasan jentik nyamuk Aedes aegypty yang dikenal dengan PSN DBD dilakukan dengan cara:
1)      Fisik
Pemberantasan dengan cara ini dikenal sebagai kegiatan 3 M yaitu menguras dan menyikat bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air, mengubur, menyingkirkan atau memusnahkanbarang-barang bekas. Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya satu minggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu. Pada saat ini telah dikenal pula dengan istilah 3M PLUS yaitu, kegiatan 3M yang diperluas. Bila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga DBD tidak menular lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi kapada masyarakat harus dilakukan secar terus-menerus dan berkesinambungan, oleh karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
2)      Kimia
Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan mengunakan insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasidasi.
3)      Biologi
Pemberantasan cara ini menggunakan ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang). Dapat juga menggunakan Bacillus thuringiensis var Israeliensis (Bti).





H.    Juru Pemantauan Jentik (Jumantik)
1.      Pengertian
Kader juru pemantau jentik (jumantik) adalah kelompok kerja kegiatan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue di tingkat Desa dalam wadah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (Depkes RI, 1992).
2.      Tujuan
Menggerakkan peran serta masyarakat dalam usaha pemberantasan penyakit DBD, terutama dalam pemberantasan jentik nyamuk penularnya sehingga penularan penyakit demam berdarah dengue di tingkat desa, dapat dicegah atau dibatasi. Menurut Depkes RI (2005) peran kader kesehatan dalam menanggulangi DBD adalah:
a.         Sebagai anggota PJB di rumah-rumah dan tempat umum.
b.        Memberikan penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat.
c.         Mencatat dan melaporkan hasil PJB Kepala Dusun atau Puskesmas secara rutin minimal setiap minggu dan bulanan.
d.        Mencatat dan melaporkan kasus kejadian DBD kepada RW/Kepala Dusun atau Puskesmas.
e.         Melakukan PSN dan pemberantasan DBD secara sederhana seperti pemberian bubuk abate dan ikan pemakan jentik.
3.      Susunan Organisasi Kader Jumantik
a.       Kader jumantik merupakan kelompok kerja kegiatan pemberantasan penyakit demam derdarah dengue.
b.      Kepala desa selaku ketua umum.
c.       Susunan organisasi kader jumantik disesuiakan dengan kondisi dan situasi serta kebutuhan setempat.
d.      Berdasarkan ketentuan yang ada, bahwa didalam organisasi LKMD dapat dibentuk Pokja yang hanya melaksanakan jenis kegiatan dari seksi yang sesuai dengan bidang dan tugas dan fungsinya.
4.      Tugas dan Fungsi Kader Jumantik
a.       Mengkoordinir kegiatan-kegiatan jumantik.
b.      Memimpin dan menyelenggarakan pertemuan.
c.       Menetapkan jadwal waktu pertemuan berkala.
d.      Menetapkan langkah-langkah pemecahan masalah.
e.       Melaporkan hasil kegiatan.
f.        Menyiapkan penyelenggaraan pertemuan (undangan, tempat pertemuan).
g.      Menyiapkan laporan berkala kegiatan Pokja kepada ketua LKMD.
h.      Menyiapkan bahan pertemuan misalnya data-data hasil PJB.
i.        Memberikan bimbingan teknis pelaksanaan pemeriksaan jentik.
j.        Memberiakan penyuluhan dan memberikan bimbingan teknis penyuluhan kepada para penyuluh.
k.      Mencatat kegiatan-kegiatan penyuluhan dan lain-lain.
l.        Melaksanakan pemeriksaan jentik di 30 rumah secara acak di tiap RW sekurang-kurangnya tiap 3 bulan dan menyampaikan hasilnya kepada ketua LKMD.
m.    Membantu pelatihan kader pemeriksa jentik.
n.      Merencanakan kegiatan masyarakat secara bersama-sama untuk melaksasnakan PSN.
o.      Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaaan penanggulangan penyakit DBD.

I.       Partisipasi
Menurut Notoatmodjo (2007) Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi dibidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Dalam hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, memecahkan, melaksanakan dan mengevaluasikan programprogram kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar memotivasi dan membimbingnya. Di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontibusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat terbentuk dalam tenaga (daya) dan pemikiran (ide). Dalam hal ini dapat diwujudkan dalam 4M yakni, manpower (tenaga), money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau gagasan).
Hubungan dengan fasilitas dan tenaga kesehatan, partisipasi masyarakat dapat diarahkan untuk mencukupi kelengkaan tersebut. Dengan kata lain partisipasi masyarakat dapat menciptakan fasilitas dan tenaga kesehatan pelayanan kesehatan yang diciptakan dengan adanya partisipasi masyarakat didasarkan kepada idealisme:
1.      Community fell need (Pengertian dari masyarakat). Pelayanan itu diciptakan oleh masyarakat sendiri, ini berarti bahwa masyarakat itu memerlukan pelayanan tersebut. Sehingga pelayanan kesehatan bukan karena dibutuhkan karena diturunkan dari atas, yang belum dirasakan perlunya, tetapi tumbuh dari bawah yang diperlukan masyarakat dan untuk masyarakat.
2.      Organisasi pelayanan masyarakat kesehatan yang berdasarkan partisipasi masyarakat. Hal ini bararti bahwa fasilitas pelayanan kesehatan itu timbul dari masyarakat sendiri.
3.      Pelayanan kesehatan tersebut akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Artinya tenaga dan penyelenggaranya akan ditangani oleh anggota masyarakat itu sendiri yang dasarnya sukarela.
Cara yang dapat dilakukan utuk mangajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat. Pada pokoknya ada dua cara, antara lain:
1.      Partisipasi dengam paksaan
Artinya memakasa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-undangan, peraturan-peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget karena dasarnya bukan kesadaran tetapi ketakutan. Akibatnya masyarakat tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap program yang ada.
2.      Partisipasi dengan persuasi (kesadaran)
Artinya suatu parisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar tetapi bila tercapai hasilnya akan mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara.
3.      Partisipasi dengan edukasi (pendidikan)
Partisipasi ini dimulai dengan penerangan, pendidikaan dan sebagainya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Metode-metode yang dipakai dalam partisipasi adalah sebagai berikut:
1.      Pendekatan masyarakat, diperlukan untuk memperoleh simpati masyarakat. Pendekatan ini terutama ditunjukan kepada pimpinan masyarakat, baik yang formal maupun informal.
2.      Pengorganisasian masyarakat dan pembentukan tim. Dikoordinasikan oleh lurah atau kepala desa. Tim kerja yang dibentuk tiap RT, anggota tim adalah pemuka-pemuka masyrakat RT yang bersangkutan dan pimpinan oleh ketua RT.
3.      Survei diri
Tiap tim kerja di RT melakukan survei di masyarakatnya masing-masing dan diolah serta diprentasikan kepada warganya.
4.      Perencanaan program
Perencanaan dilakukan oleh masyarakat sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri dari tim kerja, serta telah menentukan bersama tentang prioritas masalah akan dipecahkan.
5.      Training (Pelatihan)
6.      Rencana evaluasi
Dalam menyusun rencana evaluasi perlu ditetapkan kriteria keberhasilan suatu program, secara sederhana dan mudah dilakukan oleh masyrakat atau kader itu sendiri.

J.      Faktor Risiko Penularan DBD
Menurut penelitian Fathi, et al (2005) ada peranan faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan DBD, antara lain:
1.      Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah satu faktor risiko penularan penyakit DBD. Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang tidak terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor yang berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa (KLB).
2.      Mobilitas Peduduk
Mobilitas penduduk di daerah yang mengalami KLB penyakit DBD sama dengan mobilitas penduduk di daerah yang tidak mengalami KLB penyakit DBD.
3.      Sanitasi Lingkungan
Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah dengan KLB penyakit DBD tinggi dan daerah dengan KLB penyakit DBD. Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk.
4.      Keberadaan Kontainer
Keberadaan kontainer yang mempengaruhi keberadaan jentik adalah letak, macam, bahan, warna, bentuk volume dan penutup kontainer serta asal air yang tersimpan dalam kontainer sangat mempengaruhi nyamuk Aedes betina untuk menentukan pilihan tempat bertelurnya. Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk Aedes. Semakin padat populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB. Dengan demikian program pemerintah berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD antara lain dengan cara menguras, menutup, dan mengubur (3M) sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam pelaksanaannya.
5.      Kepadatan Vektor
Data kepadatan vektor nyamuk Aedes yang diukur dengan menggunakan parameter ABJ yang di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota. Hal ini nampak peran kepadatan vektor nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus KLB. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan.
6.      Tingkat Pengetahuan DBD
Pengetahuan merupakan hasil proses keinginan untuk mengerti, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terutama indera pendengaran dan pengelihatan terhadap obyek tertentu yang menarik perhatian terhadap suatu objek.
7.      Sikap
Secara sederhana, sikap dapat dikatakan adalah respons terhadap stimulus (pemberian) sosial yang telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya KLB penyakit DBD.
8.      Tindakan PSN
Tindakan PSN meliputi tindakan masyarakat menguras air kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk yang dikenal dengan istilah tindakan 3M dan tindakan abatisasi atau menaburkan butiran abate ke dalam tempat penampungan air bersih yang mempunyai efek residu sampai 3 bulan.
9.      Pengasapan (Fogging)
Tindakan pengasapan seharusnya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu antara pengasapan pertama dan berikutnya (kedua) harus dalam interval 7 hari, dengan maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk Aedes dapat dibunuh pada pengasapan yang kedua. Pengasapan pada umumnya menggunakan insektisida misalnya malathion dalam larutan minyak solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa dan kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes, apalagi siklus pengasapannya tidak 2 kali dengan interval 7 hari. Sebaliknya tindakan pengasapan memberikan rasa aman yang semu kepada masyarakat yang dapat mengganggu program pembersihan sarang nyamuk seperti 3M dan abatisasi. Dari segi politis, cara ini disenangi karena terkesan pemerintah melakukan tindakan yang terlihat nyata untuk mencegah dan menanggulangi penyakit ini.
10.  Penyuluhan DBD
Penyuluhan dari Dinas Kesehatan dan kurangnya pengertian tentang apa yang harus dilakukan oleh petugas sebelum melakukan penyuluhan, seperti identifikasi hal-hal apa saja yang penting bagi masyarakat dan apa yang harus diimplementasikan pada tingkat masyarakat, tingkat wilayah, atau tingkat penentu kebijakan. Perlu dipahami, penyuluhan bukanlah semata-mata sebagai forum penyampaian hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan masyarakat. Sebaiknya masyarakat dibekali pengetahuan dan ketrampilan tentang cara-cara pengendalian vektor yang memungkinkan mereka menentukan pilihan terbaik segala hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan secara individu maupun secara kolektif.

K.    Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan DBD
Program pencegahan DBD yang efektif adalah dilaksanakan secara integral mencakup beberapa komponen. Pendidikan bagi lingkungan kesehatan terutama dalam pengelolaan penderita secara efektif dan PSN dengan peran serta masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DBD. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Aedes di suatu daerah adalah faktor kesehatan lingkungan, pengetahuan dan pelaksanaan PSN pada suatu daerah.
Keberhasilan upaya PSN ini memerlukan waktu yang cukup lama karena erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Sementara penyakit DBD cenderung menyebar luas, insiden meningkat disertai kematian, oleh karena itu digunakan insektisida untuk membatasi penyebaran penyakit dan mencegah KLB. Menurut Hiswani (2003) ada beberapa kebijakan pemerintah untuk mengurangi kasus DBD di Indonesia antara lain:
1.      Penyuluhan dilaksanakan melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat oleh petugas kesehatan dan sektor terkait, pemuka masyarakat dan orang yang mengetahui tentang penyakit demam berdarah dengue.
2.      Upaya pencegahan DBD ditingkat desa dilaksankan secara swadaya dan dikoordinasiakan oleh Pokja DBD.
3.      Pembinaan pelaksanaannya dilakukan oleh Pokjanal DBD oleh tim Pembina LKMD ditiap tingkat administrasi pemerintah.
4.      Setiap kasus DBD dilaporkan kepada puskesmas untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan seperlunya.
5.      Di desa endemis dilakukan penyemprotan dan abatisasi selektif untuk membatasi penularan dan pencegahan KLB.
Menurut Achmad (1997), menyatakan variabel yang mempengaruhi partisipasi ibu rumah tangga dalam PSN-DBD yang meliputi pengetahuan dan adanya anjuran serta kunjungan petugas kesehatan ke rumah yang menunjukan hubungan secara bermakna antar variabel.






BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksplanatori (penjelasan), menggunakan metode survei cepat (rapid survey method) yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas penanggulangan DBD dengan PSN di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.

B.     Definisi Operasional Variabel
Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan sarang nyamuk dimaksudkan untuk memutus mata rantai penularan penyakit DBD dengan memberantas siklus telur dan larva agar tidak menjadi nyamuk dewasa.
Cara pengukuran   : Wawancara dengan kuesioner terstruktur
Skala pengukuran : Nominal
Kategori                :
a.       Ya       : bila melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
b.      Tidak   : bila tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

C.    Populasi, Sampel, dan Responden
1.      Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh penduduk yang tinggal di Desa-Desa yang berada di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.    
2.      Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang terpilih dalam penelitian. Jumlah sampel untuk survei cepat ditentukan sebanyak 30 x 7 (30 kluster, 7 orang tiap kluster) sudah mencukupi untuk melihat cakupan atau frekuensi kejadian yang sering terjadi (15-85%) (Ariawan, dkk. 1996).
Cara pengambilan sampel pada survei cepat dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu : pada tahap pertama harus dilakukan pemilihan 30 klaster secara probability proportionate to size (PPS) atau menggunakan teknik probabilitas yang proporsional terhadap besar klaster. Tahap kedua adalah tahap pemilihan sampel, dimana pada setiap kluster akan diambil 7 sampel atau keluarga sehingga total dari sampel bisa mencapai 210. Keluarga pertama dipilih secara acak sederhana lalu untuk penentuan rumah-rumah lainnya yaitu dengan menghitung jarak kedekatan rumah pertama dengan rumah disekitarnya. Survei sederhana ini selanjutnya dikenal sebagai survei "30 x 7" (Depkes, 1998). Sampel dalam survei cepat efektifitas penanggulangan DBD dengan PSN ini yaitu sebagian warga yang berada di Kecamatan Ngemplak dengan karakteristik :
a.       Kriteria inklusi
1)      Tinggal di wilayah kecamatan ngemplak kabupaten boyolali
2)      Ikut melakukan PSN
3)      Berumur 16- 50 tahun
b.      Kriteria eksklusi
1)      Tidak bersedia dijadikan sebagai sample
2)      Pindah rumah atau pergi saat dilakukannya pengambilan data
3.      Responden
Responden pada survei ini adalah kepala keluarga masing-masing rumah atau yang mewakili yang tinggal pada rumah tangga yang terpilih sebagai sampel di Desa yang berada di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.

D.    Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar kuesioner, alat tulis dan netbook.

E.     Prosedur Penelitian
1.      Pemilihan kluster
Survei ini menggunakan software CSURVEY untuk membantu dalam pemilihan kluster. Peneliti mencari data kluster dimana dalam penelitian ini adalah desa, yang meliputi jumlah desa diseluruh kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali dan jumlah penduduk tiap desa. Data nama desa danjumlah penduduk dimasukkan dalam software C-Survey, kemudian dilakukan pemilihan jumlah kluster untuk tiap-tiap desa. Dalam penelitian ini jumlah kluster ditentukan sebanyak 30 kluster, sedangkan jumlah desa yang ada di wilayah Kecamatan Ngemplak sebanyak 12 desa. Menggunakan aplikasi CSURVEY dapat memudahkan dalam pemilihan secara acak dengan menganut prinsip probability proportionate to size, maka terpilih jumlah kluster untuk tiap-tiap desa sebagaimana dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Sampel Tiap Kluster Survei Efektifitas Penanggulangan DBD Dengan PSN Di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali
NO
DESA
JUMLAH PENDUDUK
Jumlah Kluster
Jumlah Sampel Tiap Kluster
Total Sampel
1
Sawahan
8.612

7

2
Donohudan
6.520
7
3
Dibal
5.959
7
4
Manggung
6.171
7
5
Sindon
5.062
7
6
Ngesrep
6.099
7
7
Kismoyoso
6.304
7
8
Giriroto
5.805
7
9
Sobokerto
5.989
7
10
Ngargorejo
3.531
7
11
Gagaksipat
6.447
7
12
Pandeyan
7.044
7

Jumlah
73.543
30
7
210
Sumber : Profil Puskesmas Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali 2015
2.      Pemilihan sampel
Peneliti menuju ke tempat yang diperkirakan merupakan pusat (tengah) wilayah kampung, yaitu Balai Desa. Kemudian dilakukan pelemparan koin Rp 100,- (lama) yang terdapat gambar gunungan, arah yang ditunjuk oleh kerucut gunungan merupakan arah yang harus dilalui peneliti (Depkes RI, 1996).
Tahap pertama dilakukan pemetaan dari rumah-rumah yang ada di desa, baik yang berada di kiri maupun dikanan. Lalu jika ditemukan persimpangan  jalan digunakan koin untuk menentukan arah mana yang ingin diambil untuk disurvei.
Setelah pemetaan selesai, rumah-rumah yang dipetakan diberi nomor urut dari tempat awal peneliti berangkat. Pemilihan rumah pertama yang didatangi untuk penelitian dilakukan dengan bantuan tabel angka acak. Peneliti mendatangi rumah pertama yang terpilih, jika ada sampel yang memenuhi syarat maka dilakukan wawancara. Jika tidak ada sampel yang memenuhi syarat maka mendatangi rumah berikutnya.
Rumah berikutnya yang didatangi adalah rumah yang terdekat dengan rumah yang telah didatangi (baik ada sampel yang memenuhi syarat atau tidak). Pengertian rumah terdekat adalah yang jarak antar pintu utamanya paling dekat.
Kemudian dilakukan wawancara pendahuluan untuk perkenalan dan menanyakan apakah responden setuju untuk menjalani prosedur penelitian. Dilakukan wawancara dengan kuesioner terstruktur oleh peneliti. 

F.     Jadwal Survei
Jadwal survei cepat efektivitas penanggulangan DBD dengan PSN di wilayah kecamatan Ngemplak kabupaten Boyolali tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Jadwal Kegiatan Survei Cepat Efektifitas Penanggulangan DBD dengan PSN di Wilayah Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali 2016
No
Kegiatan
Mei
Juni
Juli
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Penyusunan Proposal








2
Pengumpulan Data




3
Pelaporan Hasil Survei








4
Revisi Laporan








5
Pengumpulan Laporan









G.    Pengolahan Data
1.      Penyuntingan
Sebelum data diolah lebih lanjut dengan menggunakan bantuan perangkat komputer, dilakukan koreksi data bersamaan dengan pengambilan data dari responden setelah pengisian kuisioner.

2.      Pengkodean
Pengkodeaan dilakukan pada kuisioner untuk memudahkan pengumpulan dan pengelompokan data.
3.      Pembersihan
Dilakukan untuk menilai apakah data yang dikumpulkan sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika terjadi kesalahan atau kekurangan maka akan dilakukan kunjungan lapangan lagi untuk memperbaiki kesalahan atau bila terjadi kekurangan.
4.      Tabulasi
Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, disusun berdasarkan variabel yang diteliti menurut kelompok variabel. Tabulasi disusun berupa tabel distribusi dan tabulasi silang.
5.      Penyajian data
Data disajikan dalam bentuk grafik (batang, garis), cross table dan distribusi frekuensi.
6.      Rancangan analisis data
Analisa yang dilakukan adalah analisa deskriptif analitik yaitu dengan menyajikan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti. Variabel-variabel tersebut disajikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi pada masing-masing responden yang diteliti. Analisa data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan software Epi Info versi 3.58.



DAFTAR PUSTAKA
Achmad HH. 1997. Variabel Yang Mempengaruhi Partisipasi Ibu Rumah Tangga dalam Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk. Cermin Dunia Kedokteran. No. 199. November 1997
Ariawan, I. 1996, Tinjauan Statistik Metode Survei Cepat, Jakarta: FKM-UI dan
Pusdakes Depkes RI.
Dalimunthe. 2008. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pencegahan Malaria Di Kecamatan Saibu Kabupaten Mandailing Natal. [Tesis]. Sumatera: Fakultas Kesehatan Masyarakat Sumatra Utara
Departemen Kesehatan RI. 1998. Modul Metode Servei Cepat untuk Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotamadya (Edisi kedua). Jakarta: Pusat Data Kesehatan
Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Demam Beradarah Dengue. Jakarta: Direktorat Jendral PP-PL
Depkes RI. 2005 a. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral PP-PL
Depkes RI. 2005 b. Demam Berdarah Dengue Sudah Normal Kembali Pada Kondisi Normal. Jakarta: Direktorat Jendral PP-PL
Fathi, et al. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2, No. 1, Juli 2005: 1-10
Hadinegoro dan Satari. 1999. Demam Berdarah Dengue Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih Dokter Spesialis anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Tatalaksanaan Kasus DBD. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD). Sumatera: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara
Notoatomodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rhineka Cipta
Satari HI dan Meiliasari. 2004. Perawatan Di Rumah & Rumah Sakit. Jakarta
Siregar FA. 2004. Epidemologi dan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara
Soegijanto H. 2004. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press


No comments:

Post a Comment