Tuesday 16 June 2015

PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR IV SURVEY JENTIK



PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR IV
SURVEY JENTIK

A.          PENDAHULUAN
Nyamuk merupakan hewan yang sangat akrab dengan kehidupan manusia, baik pada pagi hari, siang maupun malam hari. Nyamuk juga termasuk dalam rantai makanan yang sangat penting keberadaannya. Namun jumlah nyamuk yang semakin tidak terkendali membuat banyak penyakit dapat menular melalui perantara nyamuk. Karena nyamuk dapat membawa penyakit maka ia juga termasuk kedalam hewan vektor. Penyakit yang dapat disebabkan oleh nyamuk cukup banyak salah satunya adalah penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) dimana angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di Indonesia.
Semakin banyaknya nyamuk yang dapat berkembang maka semakin besar pula kemungkinan masyarakat dapat terkena penyakit DBD. DBD merupakan salah satu penyakit infeksi virus yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes. Nyamuk semakin banyak berkembangan atau cepat perkembangannya saat musim pancaroba dimana terdapat banyak genangan air yang memungkinkan nyamuk untuk bertelur pada genangan tersebut.
Selama ini masyarakat memiliki cara efektif untuk mencegah nyamuk untuk berkembang dan mencegah gigitan nyamuk yaitu dengan upaya  pemutusan rantai nyamuk penularnya dengan cara penaburan larvasida, fogging focus dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi; pengurasan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan dan penguburan barang bekas atau biasa dikenal juga dengan 3M +.
Tingginya jumlah nyamuk serta fatalnya akibat dari penyakit DBD tentu harus ditanggulangi dan diberikan perhatian ekstra, sebab setiap daerah di Indonesia merupakan Endemis DBD.

B.           TUJUAN
1.      Untuk mengetahui keberadaan serta kepadatan larva nyamuk.
2.      Sebagai kegiatan aplikatif di lapangan mata kuliah pengendalian vektor dalam rangka jumantik (juru pemantauan jentik).

C.          TINJAUAN PUSTAKA
Nyamuk merupakan satu di antara serangga yang sangat penting dalam dunia kesehatan. Nyamuk termasuk dalam filum Arthropoda, ordo Diptera, family Culicidae, dengan tiga sub famili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Man­sonia, Armigeres,) dan Anophelinae (Anopheles) (Howard, 2007; Dongus, 2007). Nyamuk meru­pakan ektoparasit pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai vector berbagai penyakit. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah mengalami proses evolusi serta seleksi alam yang panjang sehingga menjadikan insekta ini sangat adaptif tinggal bersama manusia (Du­rant, 2008).
Kejadian penyakit yang penularannya dibawa oleh vector nyamuk tersebut, disebab­kan oleh tingginya kepadatan vektor nyamuk khususnya di Indonesia (Ndione, 2007). Nya-muk (Diptera: Culicidae) merupakan vek­tor beberapa penyakit baik pada hewan mau pun manusia. Banyak penyakit pada hewan dan manusia dalam penularannya mutlak me- merlukan peran nyamuk sebagai vektor dari agen penyakitnya (Vinayagam, 2008).
Indonesia merupakan daerah tropis dan menjadi satu di antara tempat perkembangan beberapa jenis nyamuk yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Pada manusia, nyamuk Anopheles berperan sebagai vektor penyakit malaria, sedangkan Culex sebagai vek­tor Japanese enchepalitis, Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue, serta beberapa genus nyamuk yaitu Culex, Aedes, dan Anopheles dapat juga menjadi vector penyakit filariasis. Nyamuk juga menularkan beberapa penyakit pada hewan. Nyamuk Culex sebagai vektor Dirofilaria immitis (cacing jantung pada anjing) (Zhu, 2008; Govindarajan, 2010).
Mewabahnya penyakit demam berdarah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini bukan hanya disebabkan oleh sikap dan pola hidup tidak higienis. Pemanasan global juga memicu pertumbuhan nyamuk sebagai pembawa penyakit tersebut, dalam hal ini nyamuk dapat bertahan hidup dan berkembang di daerah yang sebelumnya tidak mungkin. Pemanasan global membuat nyamuk yang selama ini hidup di daerah panas dan daerah dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut, mampu berkembang biak dan bertahan hidup di luar daerah-daerah tersebut. Juga hal ini membuat daya tahan nyamuk Aedes aegyptie makin kuat. Siklus hidup makin cepat, dan populasi nyamuk tentu saja meningkat pesat. (Anies, 2006).
Pada penyakit demam berdarah dengue (DBD) tidak terjadi siklus perubahan hidup namun hanya terjadi multiplikasi virus DBD dalam tubuh nyamuk Aedes aegyptie sebagai pejamu intermediate atau karier untuk menularkan kepada orang lain. (Chandra, 2006).
Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti
Sama seperti makhluk hidup lainnya, nyamuk mengalami siklus kehidupan. Dalam siklus hidup nyamuk, sejak telur hingga menjadi nyamuk dewasa  terdapat 4 stadia dengan 3 stadium berkembang di dalam air dari satu stadium hidup di alam bebas (Nurmaini, 2003).
Menurut Ginanjar (2004), Nyamuk membutuhkan air untuk melengkapi siklus hidupnya. Baik berupa air salju cair, pembuangan limbah dan dapat dalam wadah  air secara umum. Jenis air di mana larva nyamuk ditemukan dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies nyamuk. Selain itu, air dapat digunakan oleh nyamuk dewasa untuk menunjukkan preferensi yang sangat berbeda di mana ia dapat bertelur. Mereka bertelur di tempat-tempat seperti seperti lubang pohon yang menahan air secara berkala, kolam air pasang di rawa garam, kolam pembuangan limbah, irigasi yang ditumbuhi banyak rumput, kolam air hujan, dan lain-lain. Setiap spesies memiliki persyaratan lingkungan yang unik dalam pemeliharaan siklus hidupnya.
Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips berwarna elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva.
Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif).
Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-8 hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
Telur Aedes aegypti tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga 1 bulan dalam keadaaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan.
Description: ifm61_pict2.jpg









D.          ALAT DAN BAHAN
1.      Senter
2.      Form jumantik atau daftar survey jentik
3.      Alat tulis
4.      Larva (jentik nyamuk)


E.           HASIL
Tabel Terlampir di Lampiran 1
               Dari hasil tabel pengamatan yang telah kami laksanakan dapat diketahui dari 33 KK (Kepala Keluarga) di Desa Wiragunan Ngemplak Cilik RT 01 RW 03 Sukoharjo Kartasura yang telah diperiksa ada 8 KK yang positif jentik dan 25 KK bebas jentik. Berikut hasil perhitungan keseluruhan baik Countiner Indeks, ABJ dan House Indeks :
1.      Countiner  Indeks =

         =
         = 5,71 %

2.      Angka Bebas Jentik (ABJ) =          

=        

= 75,76 %



3.      House Indeks  =  
   =
   = 24,24 %



F.           PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil survey praktikum jentik yang telah dilakukan di Desa Wiragunan Ngemplak Cilik RT 01 RW 03 Sukoharjo Kartasura dapat diketahui bahwa Angka Bebas Jentik pada daerah tersebut adalah 75,76 % yang menandakan bahwa angka bebas jentik di daerah tersebut cukup tinggi karena suatu daerah dapat dikatakan bebas dari jentik jika ABJ daerah tersebut melebihi 95% (standar ABJ).
Persentase tersebut didapatkan melalui survey ke 33 rumah di daerah tersebut. Dari 33 rumah yang kami survey, 8 diantaranya positif jentik. Tempat yang biasa banyak didapati jentik yaitu pada bak mandi, tempat minum ternak, pot bunga, dan paling banyak pada tempat penampungan air di luar rumah warga yang rumahnya kosong atau tidak ditempati. Lalu ada juga pada ember penampungan air didalam kamar mandi yang positif jentik hingga terdapat lebih dari 55 jentik. Jumlah jentik terbanyak yang kami dapatkan berasal dari rumah Bapak Bujo Sumarto dimana jumlah jentiknya dapat mencapai lebih dari 75 jentik dalam satu wadah penampungan air diluar rumah.
Dalam praktikum kali ini kami mendapatkan hasil 5,71 % untuk Container Indeks. Persentase tersebut didapatkan dari pemeriksaan jumlah keseluruhan container yang diperiksa yaitu 140 container dimana terdapat 8 container yang positif terdapat jentik nyamuk.
Untuk meningkatkan angka bebas jentik pada suatu daerah dapat dilakukan dengan banyak cara.
1.      Melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Pemberantasan sarang nyamuk yang paling mudah dan murah dapat dilakukan salah satunya dengan 3M+, yang dimaksud dengan 3 M+ adalah menguras, mengubur dan menutup semua penampungan air serta + disni adalah penambahan dari 3M yaitu : menggunakan semprotan serangga, mengoleskan lotion anti nyamuk, ,menggunakan kelambu dan lain sebagainya.
2.      Dapat juga dilakukan dengan cara kimiawi untuk membunuh larva dan nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa dapat dibunuh dengan semprotan serangga dan fogging, dan larva dapat dibunuh dengan menaburkan bubuk larvasida pada air.
3.      Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara biologi yaitu dengan memanfaatka musuh alami dari nyamuk dalam alam seperti ikan pemakan jentik yang dipelihara pada tempat-tempat yang memungkinkan nyamuk untuk berkembangbiak dan banyak lagi lainnya.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengkontrol jumlah nyamuk di alam. Pengkontrolan nyamuk harus dilakukan sampai pada taraf tidak membahayakan manusia.


G.          KESIMPULAN
1.      Daerah ngemplak cilik positif terdapat jentik.
2.     Angka Bebas Jentik di wilayah tersebut adalah 75,76%. Angka ini kurang dari standar maksimal yaitu ABJ > 95%.
3.     Rumah yang terdapat atau positif jentik yaitu 8 rumah dari 33 rumah yang di survey.
4.     Tindakan yang dapat kami berikan yaitu
a.       Diadakannya sosialisasi/penyuluhan pada masyarakat mengenai PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M Plus.
b.      Menggerakan masyarakat untuk melakukan kerja bakti pembersihan barang-barang bekas yang dapat dijadikan tempat perindukan nyamuk.
c.       Pemberian bubuk abate pada masyarakat untuk tempat-tempat yang sering digunakan nyamuk untuk perindukan dan tempat yang sulit untuk dikuras.








DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: EGC.
Dongus, Stefan. 2007. Participatory mapping of target areas to enable operational larval source management to suppress malaria vector mosquitoes in Dar es Salaam, Tanzania. International Journal of Health Geographics. 6: 37
Durant, Sarah E. 2008. Amphibian predation on larval mosquitoes. Canadian Journal of Zoology, 86(10): 1159-1164
Ginanjar, Genis. 2004. Demam Berdarah. Bandung: FK UNPAD.
Govindarajan, Marimuthu. 2010. Larvicidal and repellent activities of Sida acuta Burm. F. (Family: Malvaceae) against three important vector mosquitoes. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 3(9): 691–695
Howard, Annabel FV. 2007. Malaria mosquito control using edible fish in western Kenya: preliminary findings of a controlled study. BMC Public Health, 7: 199
Ndione RD, Faye O, Ndiaye M, Dieye A., and Afoutou JM. 2007. Toxic effects of neem products (Azadirachta indica A. Juss) on Aedes aegypti Linnaeus 1762 larvae. In African Journal of Biotechnology, 6(24): 2846-2854
Nurmaini. 2003. Mentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus Secara Sederhana. (online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3705/1/fkm-nurmaini1.pdf, diakses pada tanggal 10 Maret 2013).
Vinayagam, A. 2008. Larvicidal Activity of Some Medicinal Plant Extracts Against Malaria Vector Anopheles stephensi. Research Journal of Parasitology, 3(2): 50-58
Zhu, Junwei. 2008. Mosquito Larvicidal Activity of Botanical-Based Mosquito Repellents. Journal of the American Mosquito Control Association, 24(1):161-168.

No comments:

Post a Comment