BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam
berdarah dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah
penyakit demam akut yang dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh empat
serotipe virus dari genus Flavivirus,
virus RNA dari keluarga Flaviviridae.
DBD bukan penyakit baru di Indonesia, kasus pertama DBD sudah ditemukan puluhan
tahun silam.Virus dengue penyebab DBD
memerlukan bantuan bantuan nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus
untuk berpindah ke tubuh manusia.
Penyakit
DBD hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang harus sangat diprioritaskan
dan dicari jalan untuk pemecahan masalahnya. DBD merupakan salah satu penyakit
menular yang berbasis lingkungan, yang artinya kejadian dan penularannya sangat
dipengaruhi oleh berbagi faktor lingkungan. Jika faktor lingkungan yang
berpengaruh antara lain lingkungan bologi, fisik dan sosisal budaya. Lingkungan
biologi seperti virus dengue sebagai penyebab penyakit, nyamuk aedes sebagai
penular disebut sebagai vektor DBD, manusia sebagai penjamu atau hospes yang
menderita sakit dengue atau DBD.
Negara
dengan kondisi iklim tropis hingga sub tropis berada dalam keadaan terancam
inveksi virus dengue, perkembangannya sangat pesat dan seringkali menimbulkan
KLB. Untuk Kecamatan Ngemplak secara geografis merupakan salah satu dari 19
Kecamatan di Kabupaten Boyolali,
terletak antara 110,22 -110,50 Bujur Timur dan 7,36 -7,71 Lintang
Selatan dengan ketinggian antara 75-400
meter diatas permukaan laut. Kecamatan Ngemplak terdiri dari 12 desa
yang hampir keseluruhan merupakan wilayah endemis DBD.
Menurut
data tahun 2015 penyakit DBD telah terjadi di seluruh Desa di Kecamatan
Ngemplak, dengan kasus tertinggi berada di Desa Sobokerto 133,6 % dan tingkat
kematian tertinggi juga berada di Desa Sobokerto 133,6 %. Tahun 2016 hingga
bulan april telah dilakukan hingga 13 kali kegiatan fogging dibeberapa desa.
Akan tetapi kejadian kasus tidak berkurang, bahkan semakin meningkat angka
penderita pasca dilakukan tindakan penanggulangan fogging.
Tingginya angka kejadian kasus dan kematian akibat
DBD, perlu adanya penanggulangan penyakit serta pencegahan sebelum terjadinya penyakit
secara tepat untuk dilakukan secara menyeluruh hingga keakar masalah sehingga
angka kejadian kasus dapat diturunkan. Oleh karena itu maka harus dilakukan
peninjauan ulang mengenai tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mengetahui
efektifitasnya sehingga dapat diketahui program apa yang paling tepat untuk
diterapkan.
B.
Tujuan
1. Tujuan
Umum
Mengetahui efektifitas kegiatan
PSN untuk pengendalian penyakit DBD di wilayah Kecamatan Ngemplak.
2. Tujuan
Khusus
a. Mengetahui
apakah ada penderita baru setelah dilakukan kegiatan PSN di wilayah Kecamatan
Ngemplak.
b. Mengetahui
tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan PSN di wilayah Kecamatan
Ngemplak.
c. Mengetahui
kelengkapan kegiatan PSN yang dilakukan setiap desa di wilayah Kecamatan
Ngemplak.
d. Mengetahui
konsistensi kegiatan PSN di wilayah Kecamatan Ngemplak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
DBD
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Penyakit ini
ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang
mempunyai kebiasaan menggit mangsanya pada saat siang hari. Masa inkubasi virus
ini adalah 2-10 hari di dalam tubuh vektor dan akan muncul dikelenjar liur
nyamuk dan siap menginfeksi manusia yang tergigit (Soegijanto, 2004).
Virus
dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat
serotipe tersebut yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN
3. Virus Dengue berukuran 35-45 nm,
Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk.
Nyamuk betina menyimpan virus tersebut pada tubuhnya. Nyamuk jantan akan
menyimpan virus pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual. Selanjutnya,
nyamuk betina akan menularkan virus ke manusia melalui gigitan (Satari dan
Meiliasai, 2004).
B. Gejala DBD
WHO
dalam (Soegijanto, 2004) diagnosis yang terdiri dari kriteria klinis dan
laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi dioagnosis
secara berlebihan, antara lain:
a. Kriteria
klinis
1) Demam
tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung selama 2-7 hari.
2) Terdapat
manifestasi perdarahan.
3) Pembesaran
hati.
4) Syok,
yang ditandai dengan nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria
laboratoris
1) Trombositopeni
(100.000/mm3 atau kurang).
2) Hemakonsentrasi,
dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih menurut standar umum dan
jenis kelamin.
C. Derajat DBD
Mengingat
derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis dapat
dibagi atas WHO dalam (Siregar, 2004) adalah sebagai berikut:
a. Derajat
I (ringan)
Demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala klinis lain, dengan manifestasi pendarahan.
b. Derajat
II (sedang)
Penderita dengan gejala yang sama,
sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan
lain.
c. Derajat
III (berat)
Penderita dengan gejala kegagalan
sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (>20 mmhg) atau
hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
d. Derajat
IV (berat)
Penderita syok berat dengan tensi tak
dapat diukur dan nadi yang tak dapat diraba.
D. Patogenesis
Menurut
(Soegijanto, 2004) patogenesis DBD masih merupakan masalah yang kontroversi.
Dua teori umum yang dipakai dalam menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD.
Yang pertama adalah hipotesis infeksi, yaitu hipotesis yang menyatakan secara
tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan dengue
serotipe yang heterolog (serotipe yang berbeda), mempunyai resiko lebih besar
untuk kemungkinan mendapatkan DBD. Antibodi heterolog yang telah ada dalam
tubuh sebelumnya akan mengenali virus lain yang menginfeksi kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi. Yang kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti
halnya semua virus binatang yang lain secara genetik dapat merubah sebagai
akibat dari tekanan pada seleksi sewaktu virus tersebut melakukan replikasi
pada tubuh manusia maupun tubuh nyamuk. Di samping itu, terdapat beberapa
tingkatan virus yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang lebih
besar.
E. Penatalaksanaan
Pasien
demam dengue dapat berobat jalan,
tidak perlu dirawat. Pada fase demam, pasien sebaiknya dianjurkan perawatan
menurut (Hadinegoro dan Satari, 2004) adalah sebagai berikut:
a. Tirah
baring selama masih demam.
b. Obat
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suh menjadi <
390C dianjurkan pemberian parasetamol.
c. Pada
pasien dewasa diperlukan obat yang ringan kadang-kadang diperlukan untuk
mengurangi rasa sakit kepala dan nyeri otot.
d. Dianjurkan
pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain air
putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
e. Monitor
suhu badan dan jumlah trombosit serta kadar hematokrit (kadar trombosit dalam
darah) sampai normal kembali.
Pasien DBD saat suhu turun pada umumnya merupakan
tanda penyembuhan. Meskipun semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi
yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh
karena kemungkinan kita sulit membedakan demam dengue dan demam berdarah dengue
pada fase demam. Perbedaan sangat jelas pada saat suhu turun, yaitu pada demam
dengue akan terjadi penyembuhan, sedangkan pada demam berdarah dengue terdapat
tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
F. Morfologi Dan Lingkaran Hidup Vektor DBD
a. Morfologi
1) Nyamuk
dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil
jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan
bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
2) Kepompong
Kepompong (pupa) berbentuk seperti
”koma”. Bentuknya lebih besar namun ramping dibanding larvanya. Pupa berukuran lebih
kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
3) Jentik
(larva)
Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai
dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
· Instar
I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
· Instar
II : 2,5-3,8 mm
· Instar
III : lebih besar sedikit dari larva instar II
· Instar
IV : berukuran paling besar 5mm
4) Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran
±0,08 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang
jernih, atau menempel pada dinding tempat penampung air.
b. Lingkaran
hidup nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk
lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur menjadi jentik kemudian kepompong
dan fase yang terakir adalah nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup
di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2
hari setelah telur terendam dalam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8
hari dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur
menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai umur rata-rata
antara 2-3 bulan (WHO dalam Soegijanto, 2004).
G. Pemberantasan Vektor DBD
a. Pemberantasan
nyamuk dewasa
Pemberantasan nyamuk
dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan dengan insektisida. Mengingat
kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan
tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk menular
malaria.
Alat yang
digunakan adalah mesin fog
(pengasapan) dan penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek
residu. Untuk membasmi penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus
dengan inetrval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang
mengandung virus dengue dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segara
muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien yang positif terinfaksi
DBD) yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh
karena itu perlu dilakukan penyemprotan yang pertama agar nymuk baru yang
infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Tindakan
penyemprotan dapat membasmi penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti
dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat
tetap ditekan serendah-rendahnya.
b. Pemberantasan
jentik
Menurut (Depkes RI, 2005) dalam
memberantasan jentik nyamuk Aedes aegypty
yang dikenal dengan PSN DBD dilakukan dengan cara:
1) Fisik
Pemberantasan
dengan cara ini dikenal sebagai kegiatan 3 M yaitu menguras dan menyikat bak
mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air, mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkanbarang-barang bekas. Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu
dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya satu minggu sekali agar nyamuk
tidak dapat berkembang biak di tempat itu. Pada saat ini telah dikenal pula
dengan istilah 3M PLUS yaitu, kegiatan 3M yang diperluas. Bila PSN-DBD
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat
ditekan serendah-rendahnya, sehingga DBD tidak menular lagi. Untuk itu upaya
penyuluhan dan motivasi kapada masyarakat harus dilakukan secar terus-menerus
dan berkesinambungan, oleh karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat
dengan perilaku masyarakat.
2) Kimia
Pemberantasan jentik Aedes aegypti
dengan mengunakan insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah
larvasidasi.
3) Biologi
Pemberantasan cara ini menggunakan
ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang). Dapat juga menggunakan
Bacillus thuringiensis var
Israeliensis (Bti).
H. Juru Pemantauan Jentik (Jumantik)
1. Pengertian
Kader juru pemantau jentik (jumantik)
adalah kelompok kerja kegiatan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue di
tingkat Desa dalam wadah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (Depkes RI, 1992).
2. Tujuan
Menggerakkan peran serta masyarakat
dalam usaha pemberantasan penyakit DBD, terutama dalam pemberantasan jentik
nyamuk penularnya sehingga penularan penyakit demam berdarah dengue di tingkat
desa, dapat dicegah atau dibatasi. Menurut Depkes RI (2005) peran kader
kesehatan dalam menanggulangi DBD adalah:
a.
Sebagai anggota PJB di rumah-rumah dan
tempat umum.
b.
Memberikan penyuluhan kepada keluarga dan
masyarakat.
c.
Mencatat dan melaporkan hasil PJB Kepala
Dusun atau Puskesmas secara rutin minimal setiap minggu dan bulanan.
d.
Mencatat dan melaporkan kasus kejadian DBD
kepada RW/Kepala Dusun atau Puskesmas.
e.
Melakukan PSN dan pemberantasan DBD secara
sederhana seperti pemberian bubuk abate dan ikan pemakan jentik.
3. Susunan
Organisasi Kader Jumantik
a. Kader
jumantik merupakan kelompok kerja kegiatan pemberantasan penyakit demam
derdarah dengue.
b. Kepala
desa selaku ketua umum.
c. Susunan
organisasi kader jumantik disesuiakan dengan kondisi dan situasi serta
kebutuhan setempat.
d. Berdasarkan
ketentuan yang ada, bahwa didalam organisasi LKMD dapat dibentuk Pokja yang
hanya melaksanakan jenis kegiatan dari seksi yang sesuai dengan bidang dan
tugas dan fungsinya.
4. Tugas
dan Fungsi Kader Jumantik
a. Mengkoordinir
kegiatan-kegiatan jumantik.
b. Memimpin
dan menyelenggarakan pertemuan.
c. Menetapkan
jadwal waktu pertemuan berkala.
d. Menetapkan
langkah-langkah pemecahan masalah.
e. Melaporkan
hasil kegiatan.
f.
Menyiapkan penyelenggaraan pertemuan
(undangan, tempat pertemuan).
g. Menyiapkan
laporan berkala kegiatan Pokja kepada ketua LKMD.
h. Menyiapkan
bahan pertemuan misalnya data-data hasil PJB.
i.
Memberikan bimbingan teknis pelaksanaan
pemeriksaan jentik.
j.
Memberiakan penyuluhan dan memberikan
bimbingan teknis penyuluhan kepada para penyuluh.
k. Mencatat
kegiatan-kegiatan penyuluhan dan lain-lain.
l.
Melaksanakan pemeriksaan jentik di 30
rumah secara acak di tiap RW sekurang-kurangnya tiap 3 bulan dan menyampaikan
hasilnya kepada ketua LKMD.
m. Membantu
pelatihan kader pemeriksa jentik.
n. Merencanakan
kegiatan masyarakat secara bersama-sama untuk melaksasnakan PSN.
o. Menyiapkan
masyarakat dalam pelaksanaaan penanggulangan penyakit DBD.
I. Partisipasi
Menurut
Notoatmodjo (2007) Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota
masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut.
Partisipasi dibidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat
dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Dalam hal ini masyarakat
sendirilah yang aktif memikirkan, memecahkan, melaksanakan dan mengevaluasikan
programprogram kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar memotivasi dan membimbingnya.
Di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontibusi atau
sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial
saja tetapi dapat terbentuk dalam tenaga (daya) dan pemikiran (ide). Dalam hal
ini dapat diwujudkan dalam 4M yakni, manpower
(tenaga), money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau gagasan).
Hubungan
dengan fasilitas dan tenaga kesehatan, partisipasi masyarakat dapat diarahkan
untuk mencukupi kelengkaan tersebut. Dengan kata lain partisipasi masyarakat
dapat menciptakan fasilitas dan tenaga kesehatan pelayanan kesehatan yang
diciptakan dengan adanya partisipasi masyarakat didasarkan kepada idealisme:
1. Community fell need
(Pengertian dari masyarakat). Pelayanan itu diciptakan oleh masyarakat sendiri,
ini berarti bahwa masyarakat itu memerlukan pelayanan tersebut. Sehingga
pelayanan kesehatan bukan karena dibutuhkan karena diturunkan dari atas, yang
belum dirasakan perlunya, tetapi tumbuh dari bawah yang diperlukan masyarakat
dan untuk masyarakat.
2. Organisasi
pelayanan masyarakat kesehatan yang berdasarkan partisipasi masyarakat. Hal ini
bararti bahwa fasilitas pelayanan kesehatan itu timbul dari masyarakat sendiri.
3. Pelayanan
kesehatan tersebut akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Artinya tenaga dan penyelenggaranya
akan ditangani oleh anggota masyarakat itu sendiri yang dasarnya sukarela.
Cara
yang dapat dilakukan utuk mangajak atau menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Pada pokoknya ada dua cara, antara lain:
1. Partisipasi
dengam paksaan
Artinya memakasa masyarakat untuk
kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-undangan,
peraturan-peraturan maupun dengan perintah lisan saja. Cara ini akan lebih
cepat hasilnya dan mudah. Tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan
kaget karena dasarnya bukan kesadaran tetapi ketakutan. Akibatnya masyarakat
tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap program yang ada.
2. Partisipasi
dengan persuasi (kesadaran)
Artinya suatu parisipasi yang
didasari pada kesadaran. Sukar tetapi bila tercapai hasilnya akan mempunyai
rasa memiliki dan rasa memelihara.
3. Partisipasi
dengan edukasi (pendidikan)
Partisipasi ini dimulai dengan
penerangan, pendidikaan dan sebagainya baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Metode-metode yang
dipakai dalam partisipasi adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan
masyarakat, diperlukan untuk memperoleh simpati masyarakat. Pendekatan ini
terutama ditunjukan kepada pimpinan masyarakat, baik yang formal maupun
informal.
2. Pengorganisasian
masyarakat dan pembentukan tim. Dikoordinasikan oleh lurah atau kepala desa. Tim
kerja yang dibentuk tiap RT, anggota tim adalah pemuka-pemuka masyrakat RT yang
bersangkutan dan pimpinan oleh ketua RT.
3. Survei
diri
Tiap tim kerja di RT melakukan survei
di masyarakatnya masing-masing dan diolah serta diprentasikan kepada warganya.
4. Perencanaan
program
Perencanaan dilakukan oleh masyarakat
sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri dari tim kerja, serta telah
menentukan bersama tentang prioritas masalah akan dipecahkan.
5. Training
(Pelatihan)
6. Rencana
evaluasi
Dalam menyusun rencana evaluasi perlu
ditetapkan kriteria keberhasilan suatu program, secara sederhana dan mudah
dilakukan oleh masyrakat atau kader itu sendiri.
J. Faktor Risiko Penularan DBD
Menurut
penelitian Fathi, et al (2005) ada
peranan faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan DBD, antara lain:
1. Kepadatan
Penduduk
Kepadatan penduduk
turut menunjang atau sebagai salah satu faktor risiko penularan penyakit DBD.
Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari
satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan penduduk yang tidak memiliki pola
tertentu dan urbanisasi yang tidak terencana serta tidak terkontrol merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa
(KLB).
2. Mobilitas
Peduduk
Mobilitas penduduk
di daerah yang mengalami KLB penyakit DBD sama dengan mobilitas penduduk di
daerah yang tidak mengalami KLB penyakit DBD.
3. Sanitasi
Lingkungan
Hal ini disebabkan
karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak
jauh berbeda antara daerah dengan KLB penyakit DBD tinggi dan daerah dengan KLB
penyakit DBD. Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan
nyamuk Aedes, terutama apabila
terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan terlindung
dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk.
4. Keberadaan
Kontainer
Keberadaan
kontainer yang mempengaruhi keberadaan jentik adalah letak, macam, bahan,
warna, bentuk volume dan penutup kontainer serta asal air yang tersimpan dalam
kontainer sangat mempengaruhi nyamuk Aedes
betina untuk menentukan pilihan tempat bertelurnya. Keberadaan kontainer sangat
berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes,
karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan
semakin padat populasi nyamuk Aedes.
Semakin padat populasi nyamuk Aedes,
maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran
lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada
akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB. Dengan demikian program pemerintah
berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD antara
lain dengan cara menguras, menutup, dan mengubur (3M) sangat tepat dan perlu
dukungan luas dari masyarakat dalam pelaksanaannya.
5. Kepadatan
Vektor
Data kepadatan
vektor nyamuk Aedes yang diukur dengan menggunakan parameter ABJ yang di
peroleh dari Dinas Kesehatan Kota. Hal ini nampak peran kepadatan vektor nyamuk
Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus KLB. Sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin
tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan.
6. Tingkat
Pengetahuan DBD
Pengetahuan
merupakan hasil proses keinginan untuk mengerti, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terutama indera pendengaran dan pengelihatan
terhadap obyek tertentu yang menarik perhatian terhadap suatu objek.
7. Sikap
Secara sederhana,
sikap dapat dikatakan adalah respons terhadap stimulus (pemberian) sosial yang
telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau
masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin
besar kemungkinan timbulnya KLB penyakit DBD.
8. Tindakan
PSN
Tindakan PSN
meliputi tindakan masyarakat menguras air kontainer secara teratur seminggu
sekali, menutup rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas
seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat menampung
air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk yang dikenal dengan istilah tindakan
3M dan tindakan abatisasi atau menaburkan butiran abate ke dalam tempat
penampungan air bersih yang mempunyai efek residu sampai 3 bulan.
9. Pengasapan
(Fogging)
Tindakan
pengasapan seharusnya dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu waktu antara
pengasapan pertama dan berikutnya (kedua) harus dalam interval 7 hari, dengan
maksud jentik yang selamat dan menjadi nyamuk Aedes dapat dibunuh pada pengasapan yang kedua. Pengasapan pada
umumnya menggunakan insektisida misalnya malathion
dalam larutan minyak solar tidak begitu efektif dalam membunuh nyamuk dewasa
dan kecil pengaruhnya dalam menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes, apalagi siklus pengasapannya
tidak 2 kali dengan interval 7 hari. Sebaliknya tindakan pengasapan memberikan rasa
aman yang semu kepada masyarakat yang dapat mengganggu program pembersihan
sarang nyamuk seperti 3M dan abatisasi. Dari segi politis, cara ini disenangi
karena terkesan pemerintah melakukan tindakan yang terlihat nyata untuk
mencegah dan menanggulangi penyakit ini.
10. Penyuluhan
DBD
Penyuluhan dari
Dinas Kesehatan dan kurangnya pengertian tentang apa yang harus dilakukan oleh
petugas sebelum melakukan penyuluhan, seperti identifikasi hal-hal apa saja
yang penting bagi masyarakat dan apa yang harus diimplementasikan pada tingkat
masyarakat, tingkat wilayah, atau tingkat penentu kebijakan. Perlu dipahami,
penyuluhan bukanlah semata-mata sebagai forum penyampaian hal-hal yang boleh
atau tidak boleh dilakukan masyarakat. Sebaiknya masyarakat dibekali
pengetahuan dan ketrampilan tentang cara-cara pengendalian vektor yang memungkinkan
mereka menentukan pilihan terbaik segala hal yang berkaitan dengan masalah
kesehatan secara individu maupun secara kolektif.
K. Partisipasi Masyarakat dalam
Pemberantasan DBD
Program
pencegahan DBD yang efektif adalah dilaksanakan secara integral mencakup
beberapa komponen. Pendidikan bagi lingkungan kesehatan terutama dalam
pengelolaan penderita secara efektif dan PSN dengan peran serta masyarakat.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DBD. Beberapa faktor yang mempengaruhi
keberadaan jentik nyamuk Aedes di suatu daerah adalah faktor kesehatan
lingkungan, pengetahuan dan pelaksanaan PSN pada suatu daerah.
Keberhasilan
upaya PSN ini memerlukan waktu yang cukup lama karena erat kaitannya dengan
perilaku masyarakat. Sementara penyakit DBD cenderung menyebar luas, insiden
meningkat disertai kematian, oleh karena itu digunakan insektisida untuk
membatasi penyebaran penyakit dan mencegah KLB. Menurut Hiswani (2003) ada
beberapa kebijakan pemerintah untuk mengurangi kasus DBD di Indonesia antara
lain:
1. Penyuluhan
dilaksanakan melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat
oleh petugas kesehatan dan sektor terkait, pemuka masyarakat dan orang yang
mengetahui tentang penyakit demam berdarah dengue.
2. Upaya
pencegahan DBD ditingkat desa dilaksankan secara swadaya dan dikoordinasiakan
oleh Pokja DBD.
3. Pembinaan
pelaksanaannya dilakukan oleh Pokjanal DBD oleh tim Pembina LKMD ditiap tingkat
administrasi pemerintah.
4. Setiap
kasus DBD dilaporkan kepada puskesmas untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi
dan penanggulangan seperlunya.
5. Di
desa endemis dilakukan penyemprotan dan abatisasi selektif untuk membatasi
penularan dan pencegahan KLB.
Menurut Achmad (1997), menyatakan variabel yang
mempengaruhi partisipasi ibu rumah tangga dalam PSN-DBD yang meliputi
pengetahuan dan adanya anjuran serta kunjungan petugas kesehatan ke rumah yang menunjukan
hubungan secara bermakna antar variabel.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksplanatori
(penjelasan), menggunakan metode survei cepat (rapid survey method) yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas
penanggulangan DBD dengan PSN di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.
B. Definisi Operasional Variabel
Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan
sarang nyamuk dimaksudkan untuk memutus mata rantai penularan penyakit DBD
dengan memberantas siklus telur dan larva agar tidak menjadi nyamuk dewasa.
Cara pengukuran : Wawancara dengan kuesioner terstruktur
Skala pengukuran : Nominal
Kategori :
a. Ya
: bila melakukan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN)
b. Tidak : bila tidak melakukan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN)
C. Populasi, Sampel, dan Responden
1. Populasi
Populasi
dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh penduduk yang tinggal di Desa-Desa
yang berada di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.
2. Sampel
Sampel
adalah sebagian dari populasi yang terpilih dalam penelitian. Jumlah sampel
untuk survei cepat ditentukan sebanyak 30 x 7 (30 kluster, 7 orang tiap
kluster) sudah mencukupi untuk melihat cakupan atau frekuensi kejadian yang
sering terjadi (15-85%) (Ariawan, dkk. 1996).
Cara
pengambilan sampel pada survei cepat dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu :
pada tahap pertama harus dilakukan pemilihan 30 klaster secara probability
proportionate to size (PPS) atau menggunakan teknik probabilitas yang
proporsional terhadap besar klaster. Tahap kedua adalah tahap pemilihan sampel,
dimana pada setiap kluster akan diambil 7 sampel atau keluarga sehingga total
dari sampel bisa mencapai 210. Keluarga pertama dipilih secara acak sederhana
lalu untuk penentuan rumah-rumah lainnya yaitu dengan menghitung jarak
kedekatan rumah pertama dengan rumah disekitarnya. Survei sederhana ini
selanjutnya dikenal sebagai survei "30 x 7" (Depkes, 1998). Sampel
dalam survei cepat efektifitas penanggulangan DBD dengan PSN ini yaitu sebagian
warga yang berada di Kecamatan Ngemplak dengan karakteristik :
a. Kriteria
inklusi
1) Tinggal
di wilayah kecamatan ngemplak kabupaten boyolali
2) Ikut
melakukan PSN
3) Berumur
16- 50 tahun
b. Kriteria
eksklusi
1) Tidak
bersedia dijadikan sebagai sample
2) Pindah
rumah atau pergi saat dilakukannya pengambilan data
3. Responden
Responden
pada survei ini adalah kepala keluarga masing-masing rumah atau yang mewakili
yang tinggal pada rumah tangga yang terpilih sebagai sampel di Desa yang berada
di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali.
D. Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan
dan alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar kuesioner, alat tulis
dan netbook.
E. Prosedur Penelitian
1. Pemilihan
kluster
Survei
ini menggunakan software CSURVEY untuk membantu dalam pemilihan kluster.
Peneliti mencari data kluster dimana dalam penelitian ini adalah desa, yang
meliputi jumlah desa diseluruh kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali dan jumlah
penduduk tiap desa. Data nama desa danjumlah penduduk
dimasukkan dalam software C-Survey, kemudian dilakukan pemilihan jumlah
kluster untuk tiap-tiap desa. Dalam penelitian ini jumlah kluster ditentukan
sebanyak 30 kluster, sedangkan jumlah desa yang ada di wilayah Kecamatan Ngemplak
sebanyak 12 desa. Menggunakan aplikasi CSURVEY dapat memudahkan dalam pemilihan
secara acak dengan menganut prinsip probability proportionate to size, maka
terpilih jumlah kluster untuk tiap-tiap desa sebagaimana dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 1. Jumlah Sampel Tiap Kluster Survei Efektifitas
Penanggulangan DBD Dengan PSN Di Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali
NO
|
DESA
|
JUMLAH PENDUDUK
|
Jumlah Kluster
|
Jumlah Sampel Tiap Kluster
|
Total Sampel
|
1
|
Sawahan
|
8.612
|
7
|
||
2
|
Donohudan
|
6.520
|
7
|
||
3
|
Dibal
|
5.959
|
7
|
||
4
|
Manggung
|
6.171
|
7
|
||
5
|
Sindon
|
5.062
|
7
|
||
6
|
Ngesrep
|
6.099
|
7
|
||
7
|
Kismoyoso
|
6.304
|
7
|
||
8
|
Giriroto
|
5.805
|
7
|
||
9
|
Sobokerto
|
5.989
|
7
|
||
10
|
Ngargorejo
|
3.531
|
7
|
||
11
|
Gagaksipat
|
6.447
|
7
|
||
12
|
Pandeyan
|
7.044
|
7
|
||
Jumlah
|
73.543
|
30
|
7
|
210
|
Sumber
: Profil Puskesmas Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali 2015
2. Pemilihan
sampel
Peneliti
menuju ke tempat yang diperkirakan merupakan pusat (tengah) wilayah kampung,
yaitu Balai Desa. Kemudian dilakukan pelemparan koin Rp 100,- (lama) yang
terdapat gambar gunungan, arah yang ditunjuk oleh kerucut gunungan merupakan
arah yang harus dilalui peneliti (Depkes RI, 1996).
Tahap
pertama dilakukan pemetaan dari rumah-rumah yang ada di desa, baik yang berada
di kiri maupun dikanan. Lalu jika ditemukan persimpangan jalan digunakan koin untuk menentukan arah
mana yang ingin diambil untuk disurvei.
Setelah
pemetaan selesai, rumah-rumah yang dipetakan diberi nomor urut dari tempat awal
peneliti berangkat. Pemilihan rumah pertama yang didatangi untuk penelitian
dilakukan dengan bantuan tabel angka acak. Peneliti mendatangi rumah pertama
yang terpilih, jika ada sampel yang memenuhi syarat maka dilakukan wawancara.
Jika tidak ada sampel yang memenuhi syarat maka mendatangi rumah berikutnya.
Rumah
berikutnya yang didatangi adalah rumah yang terdekat dengan rumah yang telah
didatangi (baik ada sampel yang memenuhi syarat atau tidak). Pengertian rumah
terdekat adalah yang jarak antar pintu utamanya paling dekat.
Kemudian
dilakukan wawancara pendahuluan untuk perkenalan dan menanyakan apakah
responden setuju untuk menjalani prosedur penelitian. Dilakukan wawancara
dengan kuesioner terstruktur oleh peneliti.
F.
Jadwal
Survei
Jadwal survei cepat efektivitas penanggulangan DBD
dengan PSN di wilayah kecamatan Ngemplak kabupaten Boyolali tahun 2015 dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel
2. Jadwal Kegiatan Survei Cepat Efektifitas Penanggulangan DBD dengan PSN di
Wilayah Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali 2016
No
|
Kegiatan
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
||||||
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Penyusunan Proposal
|
√
|
||||||||
2
|
Pengumpulan Data
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||||
3
|
Pelaporan Hasil Survei
|
√
|
||||||||
4
|
Revisi Laporan
|
√
|
||||||||
5
|
Pengumpulan Laporan
|
√
|
G. Pengolahan Data
1. Penyuntingan
Sebelum data
diolah lebih lanjut dengan menggunakan bantuan perangkat komputer, dilakukan
koreksi data bersamaan dengan pengambilan data dari responden setelah pengisian
kuisioner.
2. Pengkodean
Pengkodeaan
dilakukan pada kuisioner untuk memudahkan pengumpulan dan pengelompokan data.
3. Pembersihan
Dilakukan
untuk menilai apakah data yang dikumpulkan sudah sesuai dengan yang diharapkan
atau tidak. Jika terjadi kesalahan atau kekurangan maka akan dilakukan
kunjungan lapangan lagi untuk memperbaiki kesalahan atau bila terjadi kekurangan.
4. Tabulasi
Data yang
telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, disusun berdasarkan variabel yang
diteliti menurut kelompok variabel. Tabulasi disusun berupa tabel distribusi
dan tabulasi silang.
5. Penyajian
data
Data disajikan dalam
bentuk grafik (batang, garis), cross
table dan distribusi frekuensi.
6. Rancangan
analisis data
Analisa yang dilakukan
adalah analisa deskriptif analitik yaitu dengan menyajikan distribusi frekuensi
dari masing-masing variabel yang diteliti. Variabel-variabel tersebut disajikan
dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi pada masing-masing responden yang
diteliti. Analisa data dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan software
Epi Info versi 3.58.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad HH. 1997. Variabel
Yang Mempengaruhi Partisipasi Ibu Rumah Tangga dalam Pelaksanaan Pemberantasan
Sarang Nyamuk. Cermin Dunia Kedokteran. No. 199. November 1997
Ariawan, I. 1996,
Tinjauan Statistik Metode Survei Cepat, Jakarta: FKM-UI dan
Pusdakes Depkes RI.
Dalimunthe. 2008. Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pencegahan Malaria Di
Kecamatan Saibu Kabupaten Mandailing Natal. [Tesis]. Sumatera: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Sumatra Utara
Departemen
Kesehatan RI. 1998. Modul Metode Servei Cepat untuk Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotamadya
(Edisi kedua). Jakarta: Pusat Data Kesehatan
Depkes RI. 1992. Petunjuk
Teknis Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Demam Beradarah Dengue.
Jakarta: Direktorat Jendral PP-PL
Depkes RI. 2005 a. Pencegahan
dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jendral PP-PL
Depkes RI. 2005 b. Demam
Berdarah Dengue Sudah Normal Kembali Pada Kondisi Normal. Jakarta:
Direktorat Jendral PP-PL
Fathi, et al.
2005. Peran Faktor Lingkungan dan
Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol. 2, No. 1, Juli 2005: 1-10
Hadinegoro dan Satari. 1999. Demam Berdarah Dengue Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih Dokter
Spesialis anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Tatalaksanaan Kasus DBD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hiswani. 2003. Pencegahan
dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD). Sumatera: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatra Utara
Notoatomodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rhineka Cipta
Satari HI dan Meiliasari. 2004. Perawatan Di Rumah & Rumah Sakit. Jakarta
Siregar FA. 2004. Epidemologi
dan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatra Utara
Soegijanto H. 2004. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia.
Surabaya: Airlangga University Press
No comments:
Post a Comment