BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Grounded Theory
Istilah Grounded Theory pertama kali
diperkenalkan oleh Glaser & Strauss pada tahun 1967. Glaser
adalah seorang sosiolog sekaligus dosen di Colombia University dan
University of California School of Nursing. Sedangkan Strauss juga
seorang sosiolog yang bekerja sebagai Direktur
Social Science Research, Institute for Psychiatric and
Psychosomatic Research and Training. Inti dari pernyataan tersebut
kurang lebih adalah: “Kami meyakini bahwa penemuan teori dari data
yang kami sebut grounded theory adalah tugas utama yang
dihadapi ilmu sosiologi saat ini, untuk itu kami berusaha menunjukkan teori
tersebut sesuai dengan situasi empiris dan dapat dimengerti oleh para sosiolog
dan orang awam sekalipun. Ini merupakan pertama kali istilah grounded
theory (GT) diperkenalkan. Menurut Glaser dan Strauss, Grounded
Theory adalah teori umum dari metode ilmiah yang berurusan dengan
generalisasi, elaborasi, dan validasi dari teori ilmu sosial. Menurut mereka
penelitian Grounded Theory perlu menemukan aturan yang dapat diterima untuk
membentuk ilmu pengetahuan (konsistensi, kemampuan reproduksi, kemampuan
generalisasi dan lain-lain), walaupun pemikiran metodologis ini tidak untuk
dipahami dalam suatu pengertian positivisme (Herdiansyah,
2010).
Strauss dan Corbinpada tahun 1998
mendefinisikan grounded theory (tori dasar) adalah teori yang diperoleh dari hasil pemikiran induktif dalam
suatu penelitian tentang fenomena yang ada. Grounded theory ini
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan melalui pengumpulan data secara
sistematis dan analisis data yang terkait dengan fenomena tersebut. Oleh karena
itu kumpulan data, analisis dan teori saling mempengaruhi satu sama lain.
Peneliti tidak mulai dengan suatu teori kemudian membuktikannya, tetapi memulai
dengan melakukan penelitian dalam suatu bidang, kemudian apa yang relevan
dengan bidang tersebut dianalisis. Grounded theory adalah
prosedur penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan
menginterpretasikan pola-pola bertingkah laku, berkeyakinan, dan berbahasa yang
diyakini bersama oleh sebuah kelompok kultural tertentu yang telah
bertumbuh-kembang pada jangka waku yang lama. Dalam penelitian ini, grounded
theory memiliki prosedur analisis data yang lebih rumit daripada jenis
penelitian kualitatif lainnya. Karena penelitian ini bersifat sitematis dan
mengikuti format standar (Sugiyono, 2011).
Pada umumnya, tujuan grounded theory adalah membangun
teori baru, walaupun sering juga digunakan untuk memperluas atau memodifikasi teori
yang ada. Sebagai contoh, peneliti bisa mengembangkan grounded theory peneliti
sendiri, atau grounded peneliti lain dengan meninjau kembali data yang sama
dengan pertanyaan dan interprestasi yang berbeda. Tujuan umum dari penelitian
grounded theory adalah secara induktif memperoleh dari data, yang diperlukan
pengembangan teoritis, dan yang diputuskan secara memadai untuk domainnya
dengan memperhatikan sejumlah kriteria evaluatif. Walaupun penelitian grounded
theory dikembangkan dan digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan
sosial, penelitian grouded theory dapat secara sukses
diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Ini termasuk ilmu pendidikan, studi
kesehatan, ilmu politik dan psikologi. Glaser dan Strauss tidak memandang
prosedur grounded theory sebagai disiplin khusus, dan mereka mendorong para
peneliti untuk menggunakan prosedur ini untuk tujuan disiplin ilmu mereka (Zuriah,
2009).
B. Langkah-Langkah
Penelitian Grounded Theory
Menurut Sugiyono (2014), kategori inti yang
diidentifikasi kemudian dikembangkan dan dirumuskan menjadi teori. Selama
melakukan penelitian, peneliti membuat catatan-catatan (memo)
untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan
kategori-kategori yang dikodekan.
1. Langkah
Teoretisasi Penelitian Grounded
Tujuan akhir
penelitian Grounded ialah untuk menghasilkan teori berdasarkan data,
maka terdapat tiga langkah penting untuk menghasilkan teori tersebut, yaitu:
a) Konseptualisasi
Konseptualisasi adalah
langkah memahami data secara jeli untuk melahirkan konsep. Caranya, semua data
dibaca dengan cermat untuk diperoleh kata-kata kunci. Dari kata-kata kunci akan
diperoleh label secara konseptual. Misalnya, konsep tentang “kepemimpinan”,
“etos kerja”, “idealisme”, “reward and punishment” dan sebagainya.
b) Kategorisasi
konsep.
Jika konsep berangkat
dari pelabelan data dari kata-kata kunci, maka kategorisasi adalah tahap
mengumpulkan konsep-konsep secara lebih abstrak. Langkah untuk memperoleh
kategori adalah dengan cara mencari perbedaan dan persamaan masing-masing
konsep. Data dengan ciri-ciri yang sama dikelompokkan ke dalam satu kelompok
kategori. Yang berbeda untuk sementara disingkirkan sambil mencari jika ada
data yang memiliki ciri-ciri yang sama lagi dalam pembacaan data lebih lanjut.
c) Melahirkan
proposisi.
Proposisi adalah
pernyataan yang mengandung hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat
dinilai atau benar atas sesuatu yang relevan dengan keadaan di lapangan.
Penyusunan konsep, kategori, dan proposisi merupakan suatu keharusan untuk
menghasilkan teori, sebagai tujuan akhir dari grounded research.
2. Pengumpulan
Data dan Penyampelan Teoritik
Pada
dasarnya instrumen pengumpul data penelitian Grounded Theory adalah peneliti
sendiri. Dalam proses kerja pengumpulan data itu, ada 2 (dua) metode utama yang
dapat digunakan secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth
interview). Metode observasi dan wawancara dalam Grounded Theory tidak berbeda
dengan observasi dan wawncara pada jenis penelitian kualitatif lainnya. Hal
yang spesifik yang membedakan pengumpulan data pada penelitian Grounded Theory
dari pendekatan kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang
dikumpulkan. Paling tidak, pada Grounded Theory sangat ditekankan untuk
menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat
prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas.
Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan “mengapa suatu kondisi
terjadi?”, “apa konsekwensi yang timbul dari suatu tindakan/reaksi?”, dan
“seperti apa tahap-tahap kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu
berlangsung”?.
Sampel
dalam Grounded Theory masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah
populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan
teoritik adalah pengambilan sampel berdasarkan konsep-konsep yang terbukti
berhubungan secara teoritik dengan teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah
mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan
ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian. Sebagai contoh, jika
peneliti sedang meneliti “warna kuning” yang di dimensinya terdiri atas
“intensitas corak” dan “kecerahan”, maka peneliti memutuskan untuk mendalami
“intensitas corak” saja (tidak lagi membahas tentang ‘kecerahan”), berarti ia
sudah melakukan penyampelan. Penegasan ini memberi makna, bahwa pada dasarnya
yang di sampel itu bukan obyek formal penelitian (orang atau benda-benda),
melainkan obyek material yang berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan.
Namun demikian, karena fenomena itu melekat dengan subyek (orang atau benda),
maka dengan sendirinya obyek formal juga ikut di sampel dalam peroses
pengumpulan atau penggalian fenomena.
Berkenaan
dengan proposisi terakhir, pada hakikatnya fenomena yang telah terpilih itulah
yang dicari atau digali oleh peneliti ketika proses pengumpulan data. Karena
fenomena itu melekat dengan subyek yang diteliti, maka jumlah subyek pun terus
bertambah sampai tidak ditemukan lagi informasi baru yang diungkap oleh
beberapa subyek yang terakhir. Itulah sebabnya, penentuan sampel subyek dalam
penelitian Grounded Theory, seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya,
tidak dapat direncanakan dari awal. Subyek-subyek yang diteliti secara berproses
ditentukan di lapangan, ketika pengumpulan data berlangsung. Cara penyampelan
inilah yang disebut dalam penelitian kualitatif sebagai snow bowl sampling.
Sesuai
dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam Grounded Theory
diarahkan dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean.
Ada tiga pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan
kegiatan pengumpulan data yaitu penyampelan terbuka, penyampelan relasional dan
variasional, serta penyampelan pembeda. Penyampelan ini bersifat kumulatif (dimana
penyampelan terdahulu menjadi dasar bagi penyampelan berikutnya) dan semakin
mengerucut sejalan dengan tingkat kedalaman fokus penelitian. Keterangan yang
berkenaan dengan tiga pola penyampelan ini dapat diringkas sebagai berikut:
a) Penyampelan
Terbuka
Penyampelan
ini bertujuan untuk menemukan data sebanyak mungkin sepanjang berkenaan dengan
rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian. Karena pada tahap awal itu
peneliti belum yakin tentang konsep mana yang relevan secara teoritik, maka
obyek pengamatan dan orang-orang yang diwawncarai juga masih belum dibatasi.
Data yang terkumpul dari kegiatan pengumpulan data awal inilah kemudian
dianalisis dengan pengkodean terbuka.
b) Penyampelan
Relasional dan Variasional
Sebagaimana
diutarakan di atas, tujuan pengkodean terporos adalah menghubungkan secara
lebih khusus kategori-kategori dengan sub-subkategorinya. Untuk maksud ini
perlu dilakukan penyampelan yang berfokus pada pengungkapan dan pembuktian
hubungan-hubungan tersebut. Kegiatan itu dinamakan penyampelan relasional dan
variasional. Pada penyampelan relasional dan variasional diupayakan untuk
menemukan sebanyak mungkin perbedaan tingkat ukuran di dalam data. Hal pokok
yang perlu pada penemuan perbedaan tingkat ukuran tersebut adalah proses dan
variasi. Jadi, inti utama penyampelan di sini adalah memilih subyek, lokasi,
atau dokumen yang memaksimalkan peluang untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan variasi ukuran kategori dan data yang bertalian dengan perubahan.
c) Penyampelan
Pembeda
Penyampelan
pembeda berkaitan dengan kegiatan pengkodean terpilih. Karena itu tujuan
penyampelan pembeda di sini adalah penetapan subyek yang diduga dapat memberi
peluang bagi peneliti untuk membuktikan atau menguji hubungan
antarkategori.Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian Grounded Theory
berlangsung secara bertahap dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Proses
pengambilan sampel juga berlangsung secara terus menerus ketika kegiatan
pengumpulan data. Jumlah sampel bisa terus bertambah sejalan dengan pertambahan
jumlah data yang dibutuhkan. Ketentuan umum dalam Grounded Theory adalah
melakukan penyampelan hingga pemenuhan teoritik bagi setiap kategori tercapai.
Penyampelan
dihentikan apabila:
1) Tidak
ada lagi data baru yang relevan
2) Penyusunan
kategorinya telah terpenuhi
3) Hubungan
antarkategori sudah ditetapkan dan dibuktikan.
Dari keterangan tentang
prinsip penyampelan di atas, pengambilan kesimpulan dalam
penelitian Grounded Theory tidak didasarkan pada generalisasi, melainkan
pada spesifikasi. Bertolak dari pola penalaran ini, penelitian Grounded
Theory bermaksud untuk membuat spesifikasi-spesifikasi terhadap:
1) Kondisi
yang menjadi sebab munculnya fenomena,
2) Tindakan/interaksi
yang merupakan respon terhadap kondisi itu,
3) Konsekuensi-konsekuensi
yang timbul dari tindakan/interaksi itu.
Jadi,
rumusan teoritik sebagai hasil akhir yang ditemukan dari jenis penelitian ini
tidak menjustfikasi keberlakuannya untuk semua populasi, seperti dalam
penelitian kuantitatif, melainkan hanya untuk situasi atau kondisi tersebut.
3. Analisis
Data
Pada
esensinya kegiatan pengumpulan dan analisis data dalam Grounded
Theory adalah proses yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan
secara bergantian (siklus). Karena itu, kegiatan analisis yang dibicarakan pada
bagian berikut telah dikerjakan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung.
Kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk pengkodean
(coding). Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan
penyusunan kembali dengan cara baru. Tujuan pengkodean dalam
penelitian Grounded Theory adalah untuk menyusun teori, memberikan
ketepatan proses penelitian, membantu peneliti mengatasi bias dan asumsi yang
keliru, dan memberikan landasan, memberikan kepadatan makna, dan mengembangkan
kepekaan untuk menghasilkan teori.
Terdapat
dua prosedur analisis yang merupakan dasar bagi proses pengkodean, yaitu:
pembuatan perbandingan secara terus-menerus (the constant comparative methode of
analysis) dan pengajuan pertanyaan. Dalam konteks penelitian Grounded
Theory, hal-hal yang diperbandingkan itu cukup beragam, yang intinya berada
pada sekitar relevansi fenomena atau data yang ditemukan dengan permasalahan
pokok penelitian dan posisi dari setiap fenomena dilihat dari sifat-sifat atau
ukurannya dalam suatu tingkatan garis kontinum. Analisis data dilakukan dalam
tiga tahap antara lain :
a. Pengkodean
Terbuka (Open Coding)
1) Pelabelan
fenomena (konseptualisasi data)
Pelabelan
fenomena merupakan langkah awal dalam analisis. Yang dimaksud dengan pelabelan
fenomena adalah pemberian nama terhadap benda, kejadian atau informasi yang
diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara. Pada hakikatnya, pelabelan itu
merupakan suatu pembuatan nama dari setiap fenomena dengan konsep-konsep
tertentu. Jadi pelabelan fenomena itu tidak lain adalah satu kegiatan
konseptualisasi data. Cara untuk melakukan pelabelan ini ialah dengan
membandingkan insiden-insiden, sampai dapat diberikan nama yang sama untuk
fenomena-fenomena yang serupa. Cara ini tidak sekedar meringkas hasil
pengamatan atau wawancara dengan kata-kata kunci sebagai ganti dari sebuah
deskripsi yang panjang, melainkan memberikan konsep baru terhadap fenomena
(atau kegiatan konseptualisasi). Sebagai contoh, jika peneliti melihat
sekelompok orang duduk melingkar mengelilingi sebuah meja besar, di mana
masing-masing menyampaikan pendapat secara bergantian di bawah koordinasi
seorang yang mengatur lalu-lintas pembicaraan, maka fenomena yang berlangsung
dalam waktu yang lama ini dapat diberi label dengan diskusi atau rapat.
2) Penemuan
dan penamaan kategori (kategorisasi konsep)
Pada
hakikatnya, setiap fenomena yang sudah diberi label adalah unit-unit data yang
masih berserakan. Kapasitas intelektual manusia tidak cukup kuat untuk
sekaligus memproses dan menganalisis informasi yang jumlahnya besar seperti
itu. Untuk menyederhanakan data tersebut perlu dipisahkan ke dalam beberapa
kelompok. Penyederhanaan data itu pada umumnya dilakukan dengan cara mereduksi
data sehingga menjadi lebih ringkas dan padat, kemudian membagi-baginya kedalam
kelompok-kelompok tertentu (kategorisasi) sesuai sifat dan substansinya. Proses
kategorisasi ini pada dasarnya tergantung pada tujuan penelitian yang sudah
ditetapkan pada rancangan penelitian.
Jika
dalam pelabelan fenomena dilakukan proses konseptualisasi, maka
dalam pemberian nama kategori dilakukan proses abstraksi. Kegiatan ini
berkaitan dengan logika induktif, di mana sejumlah unit data yang sama atau
memiliki keserupaan dikelompokkan dalam satu kategori kemudian diberi nama yang
lebih abstrak. Kambing, lembu, dan kerbau, misalnya, adalah konsep-konsep yang
memiliki keserupaan dan dapat dikelompokkan jadi satu kategori dengan nama
binatang menyusui (mamalia). Contoh lain, jika anda melihat anak-anak sedang
bermain, lalu ada yang “merebut” mainan, “menyembunyikan mainan”, “menjauhi
teman”, “menangis”, maka semua konsep perilaku itu dapat dijadikan satu
kategori, yaitu sebagai “strategi untuk menghindari pinjaman atas mainan miliknya”.
Intinya adalah memadukan konsep-konsep yang menurut tujuan penelitian anda
memiliki keserupaan menjadi satu
kategori dan kemudian memberi label (nama) yang lebih abstrak yang mencakup
semua konsep tersebut.
Dalam
pemberian nama kategori ini, adakalanya peneliti membuat sendiri nama yang
sesuai dengan kelompok unit data, tetapi adakalanya meminjam istilah yang sudah
dibuat oleh peneliti atau ahli lainnya. Kedua-duanya tetap dibenarkan
dalam Grounded Theory. Namun demikian, cara pemberian nama yang paling
dianjurkan, adalah dengan menggunakan istilah yang dipakai oleh subyek yang
diteliti, karena cara inilah yang disarankan sesuai dengan pendekatan emic yang
menjadi ciri dari setiap penelitian kualitatif.
3) Penyusunan
Kategori
Dasar
untuk penyusunan kategori adalah sifat dan ukurannya. Yang dimaksud dengan
sifat di sini adalah karakteristik atau atribut suatu kategori (yang berfungsi
sebagai ranah ukuran, dimensional range), sedangkan ukuran adalah posisi dari
sifat dalam suatu kontinium. Lambang-lambang Partai Golkar dalam suatu
kampanye, misalnya, berupa kaos, jaket, topi, bendera, spanduk, umbul-umbul,
dan sebagainya, semua dikategorikan dengan “warna kuning”. “Warna kuning”
(kategori) dari lambang-lambang yang tampak itu sesungguhnya tidak persis sama,
di sana ada perbedaan baik dari segi intensitas coraknya, maupun kecerahannya.
Intensitas corak dan kecerahan itulah sifat dari “warna kuning” tersebut.
Masing-masing sifat itu memiliki dimensi yang dapat diukur. Setiap dimensinya
dapat ditempatkan pada posisi tertentu dalam garis kontinium. Intensitas corak
warna itu, misalnya, dapat diberi ukuran mulai dari yang “kuning tebal”
(orange) sampai pada “kuning tipis” (keputih-putihan). Demikian seterusnya,
setiap kategori data bisa ditempatkan di mana saja di sepanjang kontinua
dimensional secara bervariasi. Akibatnya, setiap kategori memiiki profil
dimensional yang terpisah. Beberapa profil itu dapat dikelompokkan sehingga
membentuk suatu pola. Profil dimensional ini menggambarkan sifat khusus dari
suatu fenomena dalam kondisi-kondisi yang ada.
Hal
penting yang perlu dipahami adalah penentuan sifat umum dari suatu fenomena
atau kategori. Sifat umum dari setiap kategori fenomena tentu tidak sama. Sifat
umum dari warna, adalah intensisitas corak dan kecerahan, sedangkan sifat umum
dari perilaku adalah frekuensi, intensitas, durasi, dan seterusnya.
b. Pengkodean
Terporos (Axial Coding)
Pengkodean
terporos adalah seperangkat prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara
baru dengan membuat kaitan antarkategori. Pengkodean ini diawali dari penentuan
jenis kategori kemudian dilanjutkan dengan penemuan hubungan antar kategori
atau antarsubkategori. Dalam Grounded Theory, setiap kategori harus
dikelompokkan ke dalam satu jenis kategori berikut yaitu kondisi kausal, konteks,
kondisi pengaruh, strategi aksi/interaksi, dan konsekuensi. Sistem
pengelompokan kategori ini disebut dengan model paradigma Grounded Theory.
Tugas peneliti pada tahap ini adalah memberi kode terhadap setiap kategori
data, dengan mengajukan pertanyaan, “termasuk jenis kategori apa data ini”?
Model paradigma inilah yang menjadi dasar untuk menemukan hubungan antar
kategori atau antarsubkategori.
Kegiatan
selanjutnya adalah menghubungkan subkategori dengan kategorinya. Sifat
pertanyaan yang diajukan dalam pengkodean terporos mengarah pada suatu jenis
hubungan. Alternatif hubungan-hubungan itu adalah hubungan antara kondisi
kausal dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara konteks dengan strategi
aksi/interaksi, hubungan antara kondisi pengaruh dengan strategi
aksi/interaksi, dan hubungan antara strategi aksi/interaksi dengan konsekuensi.
c. Pengkodean
Terpilih (Selective Coding)
Mengingat
masalah penelitian dalam Grounded Theory masih bersifat umum, mungkin
sekali peneliti menemukan sejumlah besar data dengan kategori dan hubungan
antarkategori/subkategori yang banyak dan bervariasi. Kenyataan ini tentu dapat
membingungkan, karena datanya masih belum terfokus pada titik tertentu. Untuk
menyederhanakannya perlu dilakukan proses penggabungan dan atau seleksi secara
sistematis.
Langkah
pertama yang dapat dilakukan untuk menyederhanakan data adalah dengan
menggabungkan semua kategori, sehingga menghasilkan tema khusus. Penggabungan
tidaklah banyak berbeda dengan pengkodean terporos, kecuali tingkat abstraksnya.
Konsep-konsep yang digunakan dalam penggabungan lebih abstrak dari konsep
pengkodean terporos. Cara ini merupakan tugas peneliti yang paling sulit.
Kepekaan teoritik dari peneliti amat penting di sini. Inti dari proses
penggabungan itu adalah bagaimana peneliti dapat menemukan spirit teoritis dari
semua kategori. Spirit teoritis itu mungkin saja tidak tampak secara eksplisit,
tetapi tertangkap oleh pikiran peneliti. Ada beberapa tahapan kerja yang
disarankan dalam proses pengkodean terpilih ini; Mereproduksi kembali alur
cerita atau susunan data ke dalam pikiran. Mengidentifikasi data dengan menulis
beberapa kalimat pendek yang berisi inti cerita atau data. Pertanyaan yang
perlu diajukan peneliti terhadap dirinya sendiri, adalah “apakah yang tampak
menonjol dari wilayah penelitian ini?”, atau “apa masalah utamanya”.
Menyimpulkan dan
memberi kode terhadap satu atau dua kalimat sebagai kategori inti. Keriteria
kategori inti yang disimpulkan itu ialah bahwa ia merupakan inti masalah yang
dapat mencakup semua fenomena/data. Kategori inti harus cukup luas agar
mencakup dan berkaitan dengan kategori lain. Kategori inti ini dapat
diibaratkan sebagai matahari yang berhubungan secara sistematis dengan
planet-planet lain. Lalu kategori inti tersebut diberi nama (konseptualisasi).
Menentukan pilihan kategori inti. Jika ternyata pada tahap “c” ada dua atau
tiga kategori inti, maka mau tak mau harus dipilih satu saja. Kategori inti
lainnya dijadikan sebagai kategori tambahan yang tidak menjadi inti pembahasan
dalam penelitian ini.
Pada tahap penggabungan dan atau pemilihan
ini, peneliti sebenarnya telah sampai pada penemuan tema pokok penelitian. Pada
umumnya metode kualitatif menganggap penelitian telah selesai pada penemuan
tema ini. Lain hal dalam Grounded Theory, tema utama (yang sudah
ditemukan) dipandang sebagai dasar untuk merumuskan masalah utama dan hipotesis
penelitian. Karena itu, peneliti perlu merumuskan masalah pokok dan hipotesis
penelitiannya. Berdasarkan masalah dan hipotesis itu, peneliti harus kembali lagi
ke lapangan untuk mengabsahkan atau membutikannya. Hasil pembuktian itulah yang
menjadi temuan penelitian, yang disebut sebagai teori.
4. Analisis
Proses
Menganalisis
proses merupakan bagian penting dalam Grounded Theory yang dimaksud dengan
analisis proses adalah pengaitan urutan tindakan/interaksi. Kegiatan analisis
ini terdiri dari penelusuran terhadap perubahan kondisi, respon (strategi
aksi/interaksi) terhadap perubahan, konsekuensi yang timbul dari respon, dan penjabaran
posisi konsekwensi sebagai bagian dari kondisi.
Pada
penelitian Grounded Theory, analisis proses bukan merupakan bagian dari
tahapan kegiatan, tetapi sebagai cara untuk mempertajam analisis dalam
pengkodean (khusus pada pengkodean terporos dan pengkodean terpilih). Hasil
analisis proses itu juga perlu ditunjukkan dalam penulisan laporan penelitian.
Maksud analisis proses ini adalah sebagai cara untuk menghidupkan data melalui
penggambaran dan pengaitan tindakan/interaksi untuk mengetahui urutan dan atau
rangkaian data. Dalam pengaitan itu tidak hanya untuk mengenali urutan waktu
atau kronologi suatu peristiwa, melainkan yang lebih penting adalah untuk
menemukan keterkaitan antara stimulus, respon, dan akibat. Kondisi, respon, dan
konsekwensi harus dilihat sebagai tiga hal yang terus bergerak secara dinamis
dan berputar mengikuti garis lingkaran. Dalam prakteknya, proses dapat dilihat
sebagai pergerakan progresif dan dapat pula dilihat sebagai pergerakan
nonprogresif. Kedua perspektif proses ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Proses
sebagai pergerakan progresif.
Jika proses dilihat
sebagai pergerakan progresif, maka peneliti dapat mengkonsepkan data sebagai
langkah-langkah, fase-fase, atau tahapan. Cara ini cukup baik untuk penelitian
yang membahas tentang perkembangan, sosialisasi, transformasi mobilitas sosial,
imigrasi, dan peristiwa sejarah. Hal penting yang perlu diingat di sini ialah
bahwa kesemua unsur paradigma Grounded Theory harus berperan dalam menjelaskan
rentang waktu dan variasinya, di mana keterkaitan atau hubungan-hubungan antar
unsur tetap dapat dieksplisitkan.
b. Proses
sebagai pergerakan nonprogresif
Bagaimanapun tidak semua
fenomena terjadi secara kronologis, karena tidak jarang pula ditemukan fenomena
yang tidak dapat dinyatakan sebagai langkah-langkah dan fase-fase progresif
yang runtut. Untuk fenomena seperti ini, peneliti dianjurkan untuk menganalisis
penggantian atau perubahan tindakan/interaksi yang terencana sebagai tanggapan
atas perubahan kondisi.
Cara untuk menghasilkan
teori dengan Grounded Theory terdiri dari lima fase yang harus dii
kuti yaitu: desain penelitian, pengumpulan data, penyusunan data, analisis
data, dan pembanding dengan literature. Dari lima fase tersebut, ada 9 langkah
yang harus diikuti, meliputi:
1) Tinjauan
ulang literatur teknisi
2) Memilih
kasus
3) Membuat
protocol pengumpulan data yang kuat
4) Masuk
ke lapangan
5) Penyusunan
data
6) Percontohan
teoritis
7) Mencapai
akhir penelitian
8) Pembanding
teori yang muncul dengan literature yang telah ada
C. Kelemahan
dan Kelebihan Penelitian Grounded Theory
Menurut Daymon dan Immy Holloway (2008), kelemahan
penggunaan model Grounded Theory terlalu memakan waktu yang lama. Hal
ini dikarenakan adanya metodologi yang mengharuskan para peneliti untuk
bersikap sangat teliti dan rajin. Proses Grounded Theory selama ini
dituduh kelewat kompleks dan membingungkan. Banyak orang yang kesulitan
mempraktikannya, kecuali dalam kondisi yang longgar, tidak kakuk, dan tidak
terlalu dispesifikasi. Sedangkan kelebihan graouded theory yaitu kualiatas Grounded
Theory sama seperti pada penelitian lain, selain ditentukan validitas,
reliabilitas, dan kredibilitas dari data. Selain itu, juga ditentukan oleh
proses penelitian di mana teori menghasilkan serta berbalasan empiris dari
temuan atau teori yang dihasilkan. Hal yang spesifik yang membedakan
pengumpulan data pada penelitianGrounded Theory dari pendekatan kualitatif
lainnya adalah pada penelitian fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak.
Pada Grounded Theory sangat ditekankan untuk menggali data perilaku
yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta
ditunjukan untuk menangkap hal˗hal yang bersifat kausalitas (perihal sebab
akibat).
Ada tiga
aspek yang membedakan Grounded Theory dengan pendekatan
penelitian yang lain adalah sebagai berikut :
1.
Peneliti mengikuti prosedur analisis sistematik dalam
sebagian besar pendekatan. Grounded theory lebih terstruktur
dalam proses pengumpulan data dan analisisnya, dibanding model riset kualitatif
lain. Meski strateginya sama (misalnya analisis tematik terhadap transkip
wawancara, observasi dan dokumen tertulis).
2. Peneliti
memasuki proses riset dengan membawa sedikit mungkin asumsi. Ini berarti
menjauhkan diri dari teori yang sudah ada.
3. Peneliti
tidak semata-mata bertujuan untuk menguraikan atau menjelaskan, tetapi juga
mengonseptualisasikan dan berupaya keras untuk menghasilkan dan mengembangkan
teori.
Hal yang spesifik yang membedakan pengumpulan data
pada penelitian Grounded Theory dari pendekatan
kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling
tidak, pada Grounded Theory sangat ditekankan untuk menggali data perilaku yang
sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta
ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Seorang
peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan "Mengapa
suatu kondisi terjadi?", "Apa konsekwensi yang timbul dari suatu
tindakan/reaksi?", dan "Seperti apa tahap-tahap kondisi,
tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?” "Apa konsekwensi yang
timbul dari suatu tindakan/reaksi?", dan "Seperti apa tahap-tahap
kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”
BAB II
PENUTUP
A.
Simpulan
Glaser dan Strauss
mendefinisikan Grounded Theory adalah teori umum dari metode ilmiah
yang berurusan dengan generalisasi, elaborasi, dan validasi dari teori ilmu
sosial. Menurut mereka penelitian Grounded Theory perlu menemukan aturan yang
dapat diterima untuk membentuk ilmu pengetahuan (konsistensi, kemampuan
reproduksi, kemampuan generalisasi dan lain-lain), walaupun pemikiran
metodologis ini tidak untuk dipahami dalam suatu pengertian positivisme.
Sedangkan Strauss dan Corbin pada tahun 1998
mendefinisikan grounded theory (tori dasar) adalah teori yang diperoleh dari hasil pemikiran induktif dalam
suatu penelitian tentang fenomena yang ada. Grounded theory ini
ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan melalui pengumpulan data secara
sistematis dan analisis data yang terkait dengan fenomena tersebut.
Langkah-langkah penelitian grounded theory
yaitu langkah teoretisasi penelitian grounded, pengumpulan data dan
penyampelan teoritik, analisis data dan analisis proses. Kelemahan penggunaan model Grounded
Theory terlalu memakan waktu yang lama. Sedangkan kelebihan graouded
theory yaitu kualiatas Grounded Theory sama seperti pada penelitian
lain, selain ditentukan validitas, reliabilitas, dan kredibilitas dari data.
B.
Saran
Penelitian
dengan grounded theory menuntut kualitas tertentu bagi peneliti pemula. Maka peneliti
harus memiliki rasa percaya diri karena memang benar-benar mengerti. Keualitas
dan kreatifitas serta wawasan yang luas harus dimiliki oleh seorang peneli
pemula. Adanya grounded theory ini membantu peneliti untuk keluar dari stagnasi
teori. Semoga makalah mengenai grounded theory ini dapat bermanfaat segaimana
mestinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Daymon,
Cristin dan Immy Holloway. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam
Public Relations dan Marketing Communication. Yogyakarta: Bentang.
Herdiansyah,
Heri. 2010. Metodologi
Penelitian Kualitatif: untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sugiyono.
2011. Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,
dan Kombinasi (Mixed Method). Bandung: Alfabeta.
Zuriah,
Nurul. 2009. Metodologi
Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment