PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR IV
SURVEY JENTIK
A.
PENDAHULUAN
Nyamuk merupakan hewan yang sangat akrab
dengan kehidupan manusia, baik pada pagi hari, siang maupun malam hari. Nyamuk
juga termasuk dalam rantai makanan yang sangat penting keberadaannya. Namun
jumlah nyamuk yang semakin tidak terkendali membuat banyak penyakit dapat
menular melalui perantara nyamuk. Karena nyamuk dapat membawa penyakit maka ia
juga termasuk kedalam hewan vektor. Penyakit yang dapat disebabkan oleh nyamuk
cukup banyak salah satunya adalah penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) dimana angka kesakitan penyakit ini masih
cukup tinggi, terutama di Indonesia.
Semakin
banyaknya nyamuk yang dapat berkembang maka semakin besar pula kemungkinan
masyarakat dapat terkena penyakit DBD. DBD merupakan salah satu penyakit
infeksi virus yang penyebarannya dilakukan oleh nyamuk Aedes. Nyamuk
semakin banyak berkembangan atau cepat perkembangannya saat musim pancaroba
dimana terdapat banyak genangan air yang memungkinkan nyamuk untuk bertelur
pada genangan tersebut.
Selama
ini masyarakat memiliki cara efektif untuk mencegah nyamuk untuk berkembang dan
mencegah gigitan nyamuk yaitu dengan upaya pemutusan rantai nyamuk penularnya dengan cara
penaburan larvasida, fogging focus dan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang meliputi; pengurasan tempat penampungan air, menutup tempat
penampungan dan penguburan barang bekas atau biasa dikenal juga dengan 3M +.
Tingginya jumlah nyamuk serta
fatalnya akibat dari penyakit DBD tentu harus ditanggulangi dan diberikan
perhatian ekstra, sebab setiap daerah di Indonesia merupakan Endemis DBD.
B.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui keberadaan serta kepadatan larva nyamuk.
2. Sebagai
kegiatan aplikatif di lapangan mata kuliah pengendalian vektor dalam rangka
jumantik (juru pemantauan jentik).
C.
TINJAUAN
PUSTAKA
Nyamuk merupakan satu di antara serangga yang sangat penting dalam
dunia kesehatan. Nyamuk termasuk dalam filum Arthropoda, ordo Diptera, family
Culicidae, dengan tiga sub famili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites),
Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres,) dan Anophelinae (Anopheles)
(Howard, 2007; Dongus, 2007). Nyamuk merupakan ektoparasit
pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hal ini
dikarenakan kemampuannya sebagai vector berbagai penyakit. Nyamuk tergolong
serangga yang cukup tua di alam dan telah mengalami proses evolusi serta
seleksi alam yang panjang sehingga menjadikan insekta ini sangat adaptif
tinggal bersama manusia (Durant, 2008).
Kejadian penyakit yang penularannya dibawa oleh vector nyamuk
tersebut, disebabkan oleh tingginya kepadatan vektor nyamuk khususnya di
Indonesia (Ndione, 2007). Nya-muk (Diptera: Culicidae) merupakan vektor
beberapa penyakit baik pada hewan mau pun manusia. Banyak penyakit pada hewan
dan manusia dalam penularannya mutlak me- merlukan peran nyamuk sebagai vektor
dari agen penyakitnya (Vinayagam, 2008).
Indonesia merupakan daerah tropis dan menjadi satu di antara
tempat perkembangan beberapa jenis nyamuk yang membahayakan kesehatan manusia
dan hewan. Pada manusia, nyamuk Anopheles berperan sebagai vektor
penyakit malaria, sedangkan Culex sebagai vektor Japanese
enchepalitis, Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah
dengue, serta beberapa genus nyamuk yaitu Culex, Aedes, dan Anopheles dapat
juga menjadi vector penyakit filariasis. Nyamuk juga menularkan beberapa
penyakit pada hewan. Nyamuk Culex sebagai vektor Dirofilaria immitis (cacing
jantung pada anjing) (Zhu, 2008; Govindarajan, 2010).
Mewabahnya
penyakit demam berdarah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini bukan hanya
disebabkan oleh sikap dan pola hidup tidak higienis. Pemanasan global juga
memicu pertumbuhan nyamuk sebagai pembawa penyakit tersebut, dalam hal ini
nyamuk dapat bertahan hidup dan berkembang di daerah yang sebelumnya tidak mungkin.
Pemanasan global membuat nyamuk yang selama ini hidup di daerah panas dan
daerah dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut, mampu
berkembang biak dan bertahan hidup di luar daerah-daerah tersebut. Juga hal ini
membuat daya tahan nyamuk Aedes aegyptie
makin kuat. Siklus hidup makin cepat, dan populasi nyamuk tentu saja meningkat
pesat. (Anies, 2006).
Pada
penyakit demam berdarah dengue (DBD) tidak terjadi siklus perubahan hidup namun
hanya terjadi multiplikasi virus DBD dalam tubuh nyamuk Aedes aegyptie sebagai pejamu intermediate atau karier untuk
menularkan kepada orang lain. (Chandra, 2006).
Siklus Hidup
Nyamuk Aedes Aegypti
Sama
seperti makhluk hidup lainnya, nyamuk mengalami siklus kehidupan. Dalam siklus
hidup nyamuk, sejak telur hingga menjadi nyamuk dewasa terdapat 4 stadia
dengan 3 stadium berkembang di dalam air dari satu stadium hidup di alam bebas
(Nurmaini, 2003).
Menurut Ginanjar (2004), Nyamuk membutuhkan air untuk melengkapi siklus
hidupnya. Baik
berupa air salju cair, pembuangan limbah dan dapat dalam wadah air
secara umum. Jenis air di mana larva nyamuk ditemukan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies nyamuk. Selain itu, air dapat digunakan oleh nyamuk
dewasa untuk menunjukkan preferensi yang sangat berbeda di mana ia dapat
bertelur. Mereka bertelur di tempat-tempat seperti seperti lubang pohon yang
menahan air secara berkala, kolam air pasang di rawa garam, kolam pembuangan
limbah, irigasi yang ditumbuhi banyak rumput, kolam air hujan, dan lain-lain. Setiap
spesies memiliki persyaratan lingkungan yang unik dalam pemeliharaan siklus
hidupnya.
Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines
lain, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari
nyamuk Aedes betina dapat bertelur
rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips berwarna elips berwarna hitam dan
terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari
menjadi larva.
Terdapat
empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari
instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai
instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman
(inaktif).
Pupa
bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.
Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-8 hari, tetapi
dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
Telur Aedes aegypti tahan terhadap kondisi
kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga 1 bulan dalam keadaaan kering. Jika
terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva
sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat
berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan.
D.
ALAT
DAN BAHAN
1.
Senter
2.
Form jumantik atau daftar survey jentik
3.
Alat tulis
4.
Larva (jentik nyamuk)
E.
HASIL
Tabel
Terlampir di Lampiran 1
Dari hasil tabel pengamatan yang
telah kami laksanakan dapat diketahui dari 33 KK (Kepala Keluarga) di Desa Wiragunan
Ngemplak Cilik RT 01 RW 03 Sukoharjo Kartasura yang
telah diperiksa ada 8 KK yang positif jentik dan 25 KK bebas jentik. Berikut
hasil perhitungan keseluruhan baik Countiner Indeks, ABJ dan House Indeks :
1. Countiner Indeks
=
=
= 5,71 %
2. Angka
Bebas Jentik (ABJ) =
=
= 75,76 %
3. House
Indeks
=
=
= 24,24 %
F.
PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil survey praktikum jentik yang telah dilakukan di Desa Wiragunan Ngemplak Cilik RT 01 RW
03 Sukoharjo Kartasura dapat diketahui bahwa Angka Bebas Jentik pada daerah
tersebut adalah 75,76 % yang menandakan bahwa angka bebas jentik di daerah
tersebut cukup tinggi karena suatu daerah dapat dikatakan bebas dari jentik
jika ABJ daerah tersebut melebihi 95% (standar ABJ).
Persentase
tersebut didapatkan melalui survey ke 33 rumah di daerah tersebut. Dari 33
rumah yang kami survey, 8 diantaranya positif jentik. Tempat yang biasa banyak
didapati jentik yaitu pada bak mandi, tempat minum ternak, pot bunga, dan
paling banyak pada tempat penampungan air di luar rumah warga yang rumahnya
kosong atau tidak ditempati. Lalu ada juga pada ember penampungan air didalam
kamar mandi yang positif jentik hingga terdapat lebih dari 55 jentik. Jumlah
jentik terbanyak yang kami dapatkan berasal dari rumah Bapak Bujo Sumarto
dimana jumlah jentiknya dapat mencapai lebih dari 75 jentik dalam satu wadah
penampungan air diluar rumah.
Dalam
praktikum kali ini kami mendapatkan hasil 5,71 % untuk Container Indeks.
Persentase tersebut didapatkan dari pemeriksaan jumlah keseluruhan container
yang diperiksa yaitu 140 container dimana terdapat 8 container yang positif
terdapat jentik nyamuk.
Untuk
meningkatkan angka bebas jentik pada suatu daerah dapat dilakukan dengan banyak
cara.
1. Melakukan
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Pemberantasan sarang nyamuk yang paling
mudah dan murah dapat dilakukan salah satunya dengan 3M+, yang dimaksud dengan
3 M+ adalah menguras, mengubur dan menutup semua penampungan air serta + disni
adalah penambahan dari 3M yaitu : menggunakan semprotan serangga, mengoleskan
lotion anti nyamuk, ,menggunakan kelambu dan lain sebagainya.
2. Dapat
juga dilakukan dengan cara kimiawi untuk membunuh larva dan nyamuk dewasa.
Nyamuk dewasa dapat dibunuh dengan semprotan serangga dan fogging, dan larva
dapat dibunuh dengan menaburkan bubuk larvasida pada air.
3. Selain
itu dapat juga dilakukan dengan cara biologi yaitu dengan memanfaatka musuh
alami dari nyamuk dalam alam seperti ikan pemakan jentik yang dipelihara pada
tempat-tempat yang memungkinkan nyamuk untuk berkembangbiak dan banyak lagi
lainnya.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengkontrol
jumlah nyamuk di alam. Pengkontrolan nyamuk harus dilakukan sampai pada taraf
tidak membahayakan manusia.
G.
KESIMPULAN
1. Daerah ngemplak cilik positif terdapat jentik.
2. Angka
Bebas Jentik di wilayah tersebut adalah 75,76%. Angka ini kurang dari standar maksimal
yaitu ABJ > 95%.
3. Rumah
yang terdapat atau positif jentik yaitu 8 rumah dari 33 rumah yang di survey.
4. Tindakan yang dapat
kami berikan yaitu
a.
Diadakannya sosialisasi/penyuluhan pada masyarakat mengenai
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M Plus.
b.
Menggerakan masyarakat untuk melakukan kerja bakti
pembersihan barang-barang bekas yang dapat dijadikan tempat perindukan nyamuk.
c.
Pemberian bubuk abate pada masyarakat untuk tempat-tempat
yang sering digunakan nyamuk untuk perindukan dan tempat yang sulit untuk
dikuras.
DAFTAR PUSTAKA
Anies.
2006. Manajemen Berbasis Lingkungan.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: EGC.
Dongus, Stefan. 2007. Participatory mapping of target areas to
enable operational larval source management to suppress malaria vector
mosquitoes in Dar es Salaam, Tanzania. International Journal of Health
Geographics. 6: 37
Durant, Sarah E. 2008. Amphibian predation on larval mosquitoes.
Canadian Journal of Zoology, 86(10): 1159-1164
Ginanjar, Genis. 2004. Demam Berdarah. Bandung: FK UNPAD.
Govindarajan, Marimuthu. 2010. Larvicidal and repellent activities of Sida acuta Burm. F. (Family:
Malvaceae) against three important vector mosquitoes. Asian Pacific
Journal of Tropical Medicine, 3(9): 691–695
Howard, Annabel FV. 2007. Malaria mosquito control using edible fish in western Kenya:
preliminary findings of a controlled study. BMC Public Health, 7:
199
Ndione RD, Faye O, Ndiaye M, Dieye A., and
Afoutou JM. 2007. Toxic effects of neem
products (Azadirachta indica A.
Juss) on Aedes aegypti Linnaeus
1762 larvae. In African Journal of Biotechnology, 6(24): 2846-2854
Nurmaini. 2003. Mentifikasi
Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus
Secara Sederhana. (online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3705/1/fkm-nurmaini1.pdf, diakses pada tanggal 10 Maret 2013).
Vinayagam, A. 2008. Larvicidal
Activity of Some Medicinal Plant Extracts Against Malaria Vector Anopheles
stephensi. Research Journal of Parasitology, 3(2): 50-58
Zhu,
Junwei. 2008. Mosquito Larvicidal Activity
of Botanical-Based Mosquito Repellents. Journal of the American Mosquito
Control Association, 24(1):161-168.
No comments:
Post a Comment